Jumat 19 Apr 2019 12:08 WIB

Mimpi dan Takdir

Mimpi bagi sebagian orang adalah bunga tidur, tapi mimpi bagiku menjadi nyata.

Mimpi dan Takdir
Foto:

Waktu terus berjalan tak terasa umurku sudah memasuki masa-masa kuliah. Untuk mencari suasana baru dan wawasan yang lebih luas aku lebih memilih untuk kuliah di Jawa di sebuah universitas impian ku. Lagi pula aku laki-laki, hidup jauh dari kampung bagiku adalah tantangan yang mampu menambah pengalaman hidup dan akan sangat berguna bagi masa depanku kelak.

Sampai hari itu tiba, ini tentang mimpiku lagi. Aku sedang berada di rumah di kampung dan tiba-tiba saja aku mengalami sesak napas yang penyebabnya tidak aku ketahui karena aku tidak memiliki riwayat asma atau penyakit paru-paru lainnya.

Lalu spontan aku keluar rumah mencari udara segar, tapi tidak berefek sama sekali. Justru aku melihat sesuatu yang sangat mengejutkan dan membuat bulu kudukku berdiri, semua orang terkapar di tanah basah, ada yang masih bisa meminta tolong, ada yang sedang sekarat, lebih tragis ada yang sudah tidak bergerak sama sekali. Anehnya, aku hanya bisa melihat tanpa bisa bergerak sama sekali seolah-olah aku diserang penyakit lumpuh.

Ya Allah, tiba-tiba aku teringat orang tua dan adikku. Bagaimana ini? Bagaimana keadaan mereka? Kenapa aku tidak melihat mereka? Aku hanya bisa berteriak, Bapak … Ibu … Fahmi … ah lalu aku terbangun dengan bermandikan keringat dingin. Seketika aku syok dan aku langsung mengambil handphone untuk menelepon rumah karena aku sedang berada di Jakarta.

“Assalamualaikum Bapak. Bapak, Ibu, dan Fahmi, semua ada di rumah kan? Tidak terjadi apa-apa kan? Bagaimana keadaan di sana?” bertubi-tubi pertanyaan aku lontarkan ke Bapak.

“Ya Allah Tur, malam-malam begini kenapa nelepon, ada apa lagi? Sekarang jam satu malam loh, Tur.” Timpal bapak dari seberang sana.

“Fatur mimpi lagi Pak. Kali ini lebih mengerikan dibanding sebelumnya. Fatur bukannya mau percaya, tapi Fatur merasa bahwa ini benar-benar akan terjadi,” kataku hampir menangis.

“Ya udah ya udah, coba kamu ceritakan deh,” kata Bapak tanpa menyanggah, mungkin mendengar suaraku yang mulai berubah.

Lalu aku ceritakan sekelumit mimpi yang baru aku alami. Bapak mencoba menenangkanku mungkin karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk memulai perdebatan. Aku tutup telepon dengan gugup lalu mencoba merenung dan alhasil aku tidak bisa melanjutkan tidurku.

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung pulang ke kampung halamanku. Dalam perjalanan aku sibuk berpikir apa yang harus aku lakukan karena aku merasa ini akan terjadi untuk kesekian kalinya. Orang tua dan adikku kaget akan kepulanganku yang tanpa kabar itu. Sontak aku meminta maaf karena tidak menelepon sebelumnya.

Lalu, aku ceritakan kegundahan dan beban pikiranku dengan alasan yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Aku bercerita dengan membabi buta dan lebih meyakinkan keluargaku lebih tepatnya sedikit memaksa mereka mengikuti keinginanku. Tentu saja mereka tidak mengikuti saranku untuk pindah sementara ke Jakarta.

Aku merasa di kampung tidak aman lagi, itu yang ada dalam pikiranku. Aku seperti orang bodoh, tapi mau bagaimana lagi aku tidak mau terjadi apa-apa dengan keluargaku.

Namun, itu serasa suatu yang mustahil karena ini berkaitan dengan sesuatu yang sangat besar dan kompleks. Adikku masih sekolah, Bapak mesti bekerja di kantor, dan Ibu sebagai istri yang patuh ya mengikuti apa yang dikatakan Bapak. Kepalaku semakin pusing karena sebagian keluarga besar di luar keluarga intiku berada di kampung.

Baik, aku berjanji dalam hati untuk bertahan selama sepekan di kampung halaman, selama itu aku akan terus meyakinkan keluargaku. Aku tidak boleh menyerah dan mengeluarkan segenap tenagaku agar ini berhasil walau tampak mustahil.

Perdebatan hebat tak bisa dihindari. Sebagai anak, aku mengalah dan memutuskan kembali ke Jakarta. Berat rasanya kaki ini meninggalkan rumah bak beratnya perpisahan seorang yang sedang sekarat menunggu malaikat maut menjemputnya. Semoga ini hanya mimpi bunga tidur tak lebih dari itu, hiburku dalam hati.

Di Jakarta aku telah disibukkan kembali dengan aktivitas perkuliahan dan sedikit lupa dengan dua hari yang lalu saat aku di kampung. Ketenanganku terusik saat mendengar kabar dari kampung halamanku bahwa telah terjadi gempa berkekuatan besar sekitar 7 skala Richter.

Jantungku langsung berdegup kencang dan dengan segera menelepon ke rumahku di Palu, Sulawesi Tengah. Aneh telepon tidak terhubung, ah mungkin sinyal pikirku. Lalu, aku telepon kembali, tapi tetap saja tidak terhubung. Kemudian aku telepon semuanya, Ibu dan adikku, tapi tetap sama. Begitu pun dengan keluara yang lain.

Hati ini semakin cemas dan kalut dengan berita di TV yang menginformasikan semakin banyak korban jiwa dan banyak rumah yang hancur dan roboh. Ingin pulang pun tidak bisa karena penerbangan ke Palu masih terkendala. Bahkan, sampai seminggu pun penerbangan masih diprioritaskan untuk pengirman bantuan.

Di tengah kekalutanku, tiba-tiba ponselku berbunyi dan ada pesan yang masuk. Begini redaksinya, “Kak Fatur, apa kabar kakak di Jakarta? Mungkin kakak sudah mendengar berita bahwa terjadi gempa dan tsunami di kampung kita Kak, di Palu tercinta. Aku sedikit bingung untuk menciritakannya, tapi alhamdulillah aku sangat bersyukur pada Allah bahwa aku, Ibu, dan Bapak selamat dari bencana itu Kak. Pada awalnya kami semua terpisah, tapi Allah menakdirkan kita bertemu di rumah sakit yang sama. Keadaan kami di sini sedikit tidak biasa, tapi kami dirawat dengan baik oleh dokter di sini. Keluarga-keluarga yang lain baru sebagian yang bertemu dengan kami dan ada sebagian yang sudah mendahului kita kak. Kita doakan saja mereka agar amal ibadahnya diterima Allah. Fahmi hanya bisa Whatsapp karena keterbatasan pulsa dan ini juga meminjam handphone dari orang di rumah sakit. Salam dari Bapak dan Ibu, mereka berpesan agar kakak tidak perlu juga merisaukan mimpi-mimpi kakak selama ini. Jika terjadi bencana dan musibah itu sudah ketetapan yang di atas dan pun jika ada yang meninggal dari keluarga kita itu pun juga sudah suratan dan memang ajal yang bisa datang kapan, di mana pun dan kondisi apa pun. Mohon doa agar keadaan Fahmi, Bapak, dan Ibu cepat pulih. Kakak tidak perlu khawatir dan jika sudah memungkinkan sebaiknya kakak cepat pulang. Fahmi."

Aku langsung terduduk dan bahagia dengan kabar tersebut. Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepalaku tentang kepercayaan dan keyakinan pada Allah tentang takdir dan nasib masing-masing ma nusia yang harus aku percayai sepenuhnya, tentang kepercayaan dan ketakutanku akan mimpi yang harus dihilangkan tanpa sisa dalam otakku. Inilah titik balik dalam hidupku.

TENTANG PENULIS

RAIHANAN SABATHANI, SP. Penulis adalah lulusan Universitas Andalas Padang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement