Selasa 16 Apr 2019 17:34 WIB

Serangan Fajar yang Harus Dienyahkan

Serangan fajar harus dienyahkan karena bertentangan dengan hukum syara

Pekerja memasukkan surat suara ke dalam amplop saat pengepakan surat suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tegal, Jawa Tengah, Selasa (2/4/2019).
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
Pekerja memasukkan surat suara ke dalam amplop saat pengepakan surat suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tegal, Jawa Tengah, Selasa (2/4/2019).

Dalam dunia politik Indonesia, serangan fajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang dalam rangka membeli suara yang di lakukan oleh satu atau beberapa orang. Khususnya untuk memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemimpin politik.

Serangan fajar umumnya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah dan kerap terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Bentuk politik uang yang dilakukan adalah dengan cara membagi-bagikan uang menjelang hari pemungutan suara dengan tujuan agar masyarakat memilih partai atau kader tertentu.

Baca Juga

Hal tersebut tentu bukan merupakan hal baru di negeri ini dan itu seolah telah menjadi rahasia umum. Tak sedikit pula bagi para calon pejabat yang melakukan demikian.

Sehingga kucuran dana sulit terelakkan di daerah pemilihan di mana ia mencalonkan. Harapannya pun agar terpilih dan untuk melancarkannya tak jarang dengan cara bagi-bagi amplop mendekati hari Pemilihan Umum.

Bagi-bagi amplop seakan sulit terlepas saat menjelang pemilu dan hampir menjadi budaya ketika mendekati hari pencoblosan. Masyarakat pun tak sedikit menantikan saat-saat itu, karena bagi mereka merupakan kesempatan yang sayang jika disia-siakan.

Selain itu, masyrakat tak jarang akan memilih calon, jika telah memperoleh serangan fajar agar terjalin hubungan simbiosis mutualisme. Akan tetapi ada pula sekedar mengambil amplopnya, namun tak memilih calon yang memberi amplop.

Kasus bagi-bagi amplop yang dilakukan oleh para calon pejabat pun hampir tak tersentuh ranah hukum. Karena hal itu dianggap lumrah. Masyarakat juga enggan melaporkan ke pihak berwajib, selain karena menikmati serangan fajar tersebut, ada pula karena perasaan takut ketika akan melapor. Bahkan tak sedikit acuh tak acuh dengan adanya hal itu.

Kalau sudah seperti itu, bisa terbayang apa yang akan dilakukan saat para calon tersebut telah mendapatkan jabatan yang diinginkan? Ibarat kata berani mengeluarkan modal yang besar, maka berarti hasil atau keuntungan yang didapat ketika menduduki jabatan akan lebih besar lagi. Perkara nanti diperoleh dengan cara-cara yang dibenarkan maupun tidak, itu urusan belakang.

Di samping itu, saat menduduki jabatan nanti tentu tidak hanya fokus mengurusi rakyat, tetapi lebih dari itu bagaimana mengembalikan modal besar yang telah dikucurkan saat menjelang Pemilu. Sehingga tak sedikit dari mereka yang belum lama menduduki jabatan sulit untuk tidak terjerat kasus korupsi.

Padahal praktek sogok/suap warga agar mendapatkan suara dalam pemilu harus dienyahkan. Apalagi bertentangan dengan hukum syara.

Sebagaimana dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Pengirim: Fitri Suryani, SPd, Guru SMAN di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement