Senin 15 Apr 2019 11:46 WIB

Islam dan Keluarga, Benteng Anak dari Perundungan

Remaja memerlukan edukasi Islam dari keluarga untuk menjadi benteng lawan perundungan

Ilustrasi sekeluarga mengaji, mengaji sekeluarga, mengaji bersama, ngaji bersama
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Ilustrasi sekeluarga mengaji, mengaji sekeluarga, mengaji bersama, ngaji bersama

Merasa miris di satu sisi, tapi mewajarkan di sisi lain. Kalimat ini menjadi gambaran perasaan saya ketika membaca kisah AY. Sebagai pembina remaja baik di keputrian sekolah maupun di komunitas masyarakat, kasus bullying semacam itu menjadi makanan harian saya. Ah, jangankan ke adik kelas, wong ke gurunya saja remaja hari ini bisa seberani dan sesadis itu.

Saya mulai merasa khawatir jika hati saya mulai kebal dengan kasus-kasus semacam ini. Saking seringnya kisah amoral remaja bisa mudah ditemukan banyak laman berita, nasional maupun lokal. Ah, dengar langsung dari pelaku maupun korbannya pun saya pernah mendengarnya.

Baca Juga

Bullying tentu bukan satu-satunya masalah remaja sekolah. Tawuran, pergaulan bebas, LGBT, tekanan akademis, ekonomi, dan banyak lagi mewarnai remaja negri ini. Semua orang tahu, semua orang sadar sudah sebobrok itu, tapi tak banyak yang melihat di mana posisi permasalahannya.

Kasus remaja

Kasus remaja manapun, kita bisa kupas dari empat faktor. Pertama, individu remaja saat ini terjebak dalam kebingungan dalam memecahkan masalah. Masalah cinta berujung kekerasan karena tidak memahami masalah dan penyelesaian yang benar. Remaja selalu dianggap sebagai sosok yang belum dewasa, peralihan dari masa kanak-kanak katanya. 

Akan tetapi, secara fisik mereka sudah matang ketika mencapai baligh. Namun kematangan pemikiran dan emosional tidak bersamaan, sehingga jauh dari potensi seharusnya. 

Teringat dalam memori kita kisah Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang melawan tentara Romawi di usia belasan tahun. Usamah menjadi pemimpin bagi para sahabat senior kala itu. Meski sama-sama melakukan aktivitas fisik, tujuan Usamah tidak bisa disandingkan dengan para pe-bully.

Kedua, didikan keluarga kini tak lagi utuh. Sudah cukup kita mendengar kisah keluarga di mana kedua orangtua bekerja dan menjadi ATM untuk anak-anaknya saja, tidak menjalankan peran sebagai pendidik pertama dan utama. Memang tuntutan ekonomi menjadi salah satu alasan, bagaimana memberi makan dan menyekolahkan anak jika tidak bekerja? 

Akan tetapi, di dalam Islam, peran ayah dan ibu telah diatur sedemikian rupa untuk menjalankan keluarga yang harmonis. Peran ayah mencari nafkah dan ibu sebagai pengatur rumah tangga dan pengasuh anak-anak utama tidak tertunaikan. Jika anak tidak mendapat pendidikan dari orangtua, darimana anak mendapatkan standar benar dan salah?

Ketiga, media di setiap genggaman namun tidak sejalan dengan kematangan berpikir remaja. Layaknya anak usia dini, remaja masih melihat dan meniru apa yang ia indera yang kadang tak disaring terlebih dahulu. Sudah banyak saluran-saluran youtube menyiarkan bebas umpatan, makian, hingga simulasi games kekerasan. Tak lupa berbagai sinetron, film, drama yang bisa ditonton online, tak terkontrol diam-diam membius para remaja dan mempengaruhi pola pikirnya.

Remaja yang lebih dekat dengan media dibanding dengan orang rumahnya akan mencari panutan di dalam gawai-gawai mereka. Tokoh-tokoh youtuber dan selebgram menjadi guru baru yang menyenangkan bagi para remaja. Mereka menganggap wajah-wajah di dalam layar sebagai orang yang mereka anggap keren dan layak ditiru. 

Keempat, sistem pendidikan yang katanya berbasis karakter namun prakteknya hanya menjadikan remaja-remaja mengejar nilai semata tanpa mendapatkan banyak asupan nilai-nilai akhlak maupun standar-standar kehidupan yang benar. Sekular adalah istilah tepat pada sistem pendidikan saat ini. Menjauhkan agama dari pendidikan remaja. Mempersempit ruang kajian-kajian islam padahal agama adalah sumber nilai dan akhlak yang utama.

Tak salah jika saya mengatakan wajar bahwa para remaja mengalami degradasi moral ketika seluruh faktor yang mempengaruhi remaja dalam keadaan yang rusak. Perbaikan remaja jelas tak cukup dengan pemberian hukuman sekian tahun penjara. AY-AY lainnya hanya akan muncul kelak di keesokan hari.

Menuntaskan Problematika Remaja

Permasalahan remaja saat ini yang begitu sistemik, menyangkut satu aspek kepada aspek lainnya tentu harus diselesaikan secara sistemik pula. Individu yang sudah shalih pun dihadapkan kepada lingkungan yang kotor hanya akan membuatnya goyah dan tak bertahan. Bahkan ketika keluarga telah menyiapkan tameng yang kuat sekalipun, celah untuk merusak remaja sebagai generasi masa depan masih terbuka sana-sini. Tak sedikit keluarga kecolongan meski merasa sudah memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

Dari pihak individu jelas memerlukan pembenahan pola pikir, merekonstruksi standar benar dan salah pada benak para remaja, memperbaiki pemahaman-pemahaman yang rusak dan menggantikannya dengan pemahaman-pemahaman baru. Pola pikir remaja saat ini telah menerjang berbagai norma diakibatkan arus sekulerisasi dan liberalisasi yang dibawa oleh berbagai media. Tidak lagi menstandarkan perbuatan pada agama, tidak ingat pahala dan dosa, hanya memikirkan kepuasan jasadiyah semata adalah hasil dari pola pikir sekuler tersebut.

Remaja memerlukan adanya edukasi dari agama sebagai sumber utama moral dan akhlak. Menjadikan keimanan sebagai benteng utama remaja akan menjadikan mereka terlindungi dari perbuatan keji dan munkar.

Membiasakan diri dengan kebaikan akan menjadikan hati mereka peka terhadap perbuatan buruk yang terkecil pun. Jangankan untuk menyakiti secara fisik, menyakiti secara verbal pun akan disadari sebagai sesuatu yang mereka harus jauhi.

Pendidikan keluarga menjadi benteng selanjutnya bagi para remaja. Sebelum remaja baligh, pendidikan keluarga adalah langkah krusial dalam membangun karakter remaja. Maka tugas ayah dan ibu takkan pernah tergantikan dengan sekolah terbaik sekalipun. Ayah dan ibu merupakan teladan pertama yang menjadi rujukan utama anak-anaknya dalam berperilaku dan bersikap.

Jika ayah dan ibu mencontohkan sesuatu yang tidak benar, maka hal tersebut akan membekas di benak anak. Jika ayah dan ibu bahkan tidak mencontohkan apapun karena minimnya pertemuan, maka anak akan mencari panutan lain yang bisa jadi tidak memenuhi kelayakan.

Seiring naiknya tingkatan sekolah, kehidupan remaja mulai didominasi di sekolah. Seharusnya pendidikan karakter dan agama di rumah dilanjutkan di sekolah. Sayangnya pembelajaran agama ini hanya disampaikan selama 2-3 jam pelajaran per minggunya. Itupun seakan sekadar aksesoris, bukan hidangan utama dalam menu pendidikan remaja. Isinya pun terkadang tidak aplikatif sehingga tak berbekas dalam kehidupan remaja.

Remaja malah mengejar nilai, mengejar universitas, dan mengejar pekerjaan. Remaja diubah menjadi materialistis dan menggerus berbagai standar benar dan salah menjadi standar menghasilkan keuntungan atau tidak.

Rasa stres yang dihasilkan dari sekolah pun malah menjadi aspek bagi remaja mencari kesenangan sebagai pelarian. Pergaulan bebas, tawuran, hingga bullying menjadi sarana remaja dalam menyalurkan naluri yang terkekang oleh tumpukan tugas dan materi di sekolah.

Maka sistem pendidikan Islam menawarkan solusi dengan menjadikan pembentukan kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap Islam) sebagai tujuan pertama bagi pendidikan.

Sebelum remaja menguasai teknologi, remaja telah memahami standar kehidupan ala Islam dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Efeknya remaja dengan kepribadian Islam akan tangguh menghadapi arus globalisasi. Remaja tidak akan terbawa arus liberalisasi atau mengikuti trend layaknya pembebek.

Sistem pendidikan Islam dilaksanakan atas sinergisitas keluarga, masyarakat, dan negara. Tiap aspek ini memiliki tujuan utama yang sama yaitu membentuk remaja dengan kepribadian Islam. Maka tidak akan ada lagi orangtua yang abai dalam pendidikan anaknya karena telah menyadari peran penting mereka dalam pembentukan kepribadian anak.

Masyarakat pun akan menjaga para remaja dari contoh-contoh yang tidak baik sehingga tidak ditiru oleh remaja. Negara akan berusaha meraih tujuan ini dengan memberikan sistem pendidikan Islam dan menyaring berbagai media yang akan merusak tujuan pendidikan bagi remaja di awal.

Wallahu a’lam bish shawab.

Pengirim: Sabila Asy-syahidah, S. Pd, Pembina Komunitas Remaja JADDA SWI Bandung

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement