Jumat 12 Apr 2019 13:40 WIB

Hingga Nabi Musa Pun Cemburu

Nabi Musa memohon 'Ya Tuhanku, jadikanlah aku salah satu umat Muhammad'

Hingga Nabi Musa Pun Cemburu
Foto:

Hujan turun tiba-tiba dengan kilat sesekali membelah hamparan langit hitam. Bari dan Nina melangkah tergesa-gesa di sepanjang koridor rumah sakit. Hari itu Nina mendapat telepon dari Nyai Khodijah, mengabarkan bahwa Kiai Adib masuk rumah sakit. Asam lambungnya kambuh lagi.

Senyap berkuasa. Hanya terdengar sayup-sayup rintik hujan mengempas genteng. Kiai Adib terbaring lemas. Nyai Khodijah duduk di samping brankar, mengupas apel. Nina sibuk memotong-motong roti yang ia bawa dari rumah.

“Bagaimana kafemu, Le?” Kiai Adib memulai pembicaraan, pelan. Selang infus melintang di sisi kirinya.

“Alhamdulilah, Pak. Sudah mulai ramai.”

“Kapan-kapan ajari bapakmu ini menyeduh kopi yang kau jual. Apa namanya? Cino?”

“Cappuccino, Pak.”

Kiai Adib tertawa pelan dan Bari hanya tersenyum. Mereka kembali teringat beberapa tahun silam saat pertama kali Bari membawa kopi-kopi itu ke rumah. Meracik sendiri lalu menyajikannya untuk Kiai Adib dan Nyai Khodijah.

Waktu itu bapaknya berkomentar, bahwa kopi yang ia bawa tidak lebih enak dari kopi tubruk buatan ibunya. Nyai Khodijah hanya menahan tawa. Panjang lebar Bari menjelaskan bahwa kopi-kopi itu berasal dari negara lain. Kopi modern yang saat ini digandrungi orang-orang.

“Jadi, kapan kamu bisa menggantikan bapak?”

Bari hanya diam tertunduk. Sebuah pertanyaan yang mengusik mimpi-mimpinya. Ia kembali ingat pesan kemarin. Juga tentang kafe barunya. Semuanya berputar-putar, lenyap lalu menjelma suasana kompleks pesantren, lantunan bait-bait Alfiyah, Maqsud, dan Zubad beradu, anak-anak bersarung hilir mudik memangku kitab-kitab kuning klasik. Persis seperti dulu.

“Jadi, bagaimana?” Kiai Adib mengulang pertanyaan. Bari tetap enggan bicara.

Le, dengarkan baik-baik nasihat Bapak. Bukan Bapak tidak suka kamu sibuk di dunia perkopian. Silakan. Bapak tidak melarang. Tapi, Iling sama ilmumu, Le. Eman … eman.”

“Buya Hamka pernah bilang: ‘Kalau hidup sekadar hidup, monyet di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja’. Bapak ingin kamu tidak melupakan ilmumu. Tidak mengurungnya dalam dirimu sendiri. Lantas hanya memanennya seorang diri. Bapak ingin ilmumu bermanfaat untuk umat. Membanggakan Kanjeng Nabi agar termasuk dari umat-umat yang membuat Nabi Musa cemburu.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement