Jumat 12 Apr 2019 13:40 WIB

Hingga Nabi Musa Pun Cemburu

Nabi Musa memohon 'Ya Tuhanku, jadikanlah aku salah satu umat Muhammad'

Hingga Nabi Musa Pun Cemburu
Foto:

“Sebaiknya Mas turuti saja kemauan bapak.”

Nina mengaduk kopi panas seraya menatap suaminya. Bari masih diam. Tangannya masih memegang gawai dengan layar menyala berisi pesan bapak.

Perempuan itu tahu persis dilema yang menimpa suaminya. Antara keinginan menjadi barista andal dengan banyak cabang kafe dan memenuhi amanah bapak, yakni memimpin pondok pesantren peninggalan kakeknya. Bisa saja ia memenuhi permintaan itu.

Karena terlahir di lingkungan pesantren, tak heran pendidikan yang mengakar kuat di dalam dirinya adalah pendidikan agama. Ia juga berpikir, buah jatuh tak mungkin jauh dari pohonnya. Pokok jambu pastilah membuahkan jambu. Di satu sisi Bari juga ingin mengejar keinginannya sendiri. Kalau akhirnya menjadi seorang kiai, lalu untuk apa skill barista yang selama ini ia pelajari?

Pria itu sering bercerita bahwa ia sudah bosan dengan lika-liku dunia pesantren. Bergelut dalam lembaran kitab kuning, tetes tinta, dan segala kepenatan yang tidak bisa ia jumpai di mana pun. Apalagi, untuk menjadi seorang pengasuh pondok. Terlalu berat.

Bari ingat perjuangan bapaknya dulu ketika awal merintis pesantren. Dari cemoohan, hinaan, fitnah sampai hal-hal yang berbau ilmu hitam, seperti santet dan teluh beliau dapatkan. Sampai suatu ketika cobaan terberat waktu itu ketika Kiai Adib dituduh sebagai penyebar ujaran dan ajaran kebencian oleh oknum-oknum yang tak suka dengan dakwah sang kiai.

Seraya mengusap air mata, semua santri menatap lesu ketika kiai mereka dijemput oleh pihak yang berwajib. Warga seketika gempar melihat tokoh masyarakatnya tiba-tiba ditangkap. Kalau saja tidak dinasihati Kiai Adib waktu itu, bentrokan warga dan petugas kepolisian tidak bisa dihindari.

Banyak di antara sahabat-sahabat Kiai Adib yang berprofesi sebagai pengacara menawarkan diri untuk menuntaskan masalah ini. Namun, beliau menolak dan lebih memilih bersabar di balik jeruji. Saat itu kepemimpinan sementara diambil alih oleh Nyai Khodijah sendiri.

“Aku ingin kelak amalku setara dengan jerih payahku, Bu,” ucap Kiai Adib dengan mata berkaca-kaca ketika dikunjungi istrinya dan Bari waktu itu.

“Kalaupun tak pantas, aku berharap dengan perjuanganku sekarang bisa mengetuk rahmat Allah kelak. Sebagaimana setetes tinta Imam Ghazali untuk lalat yang kehausan. Atau seciduk air di dalam sepatu dari seorang pelacur untuk anjing yang dahaga.”

Dalam linangan air mata dan kerinduan, mereka saling berpelukan saat sipir penjara memberitahukan bahwa waktu berkunjung telah habis. Mereka semua hanya bisa berpasrah. Setiap masalah yang menimpa anak cucu Adam pasti ada jalan keluar yang telah Allah siapkan, ibarat sebuah gembok besi lengkap dengan anak kuncinya.

Tiba-tiba telepon rumah berdering. Bari masih bergeming menatap pesan bapak. Nina akhirnya beranjak dari kursi.

“Assalamu ‘Alaikum. Iya, ini Nina, Bu.”

Sayup-sayup terdengar suara perempuan dengan intonasi cemas di gagang telepon. Bari melirik istrinya dengan perasaan tidak enak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement