Kamis 11 Apr 2019 09:40 WIB

Krisis Kepribadian Anak Bangsa

Kasus pengeroyokan AU menunjukkan terjadinya krisis kepribadian anak bangsa

Tiga dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) memberi keterangan saat jumpa pers di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Tiga dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) memberi keterangan saat jumpa pers di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019).

Tepat hari Selasa, tanggal 09 April 2019 tagar #JusticeForAudrey viral di media sosial. Berita pengeroyokan seorang siswi SMP oleh 12 siswi SMA di Pontianak sudah tersebar hingga menjadi trending topik di Twitter. Siswi SMP yang menjadi korban sampai masuk rumah sakit dan mendapatkan perawatan. Korban juga mengalami trauma karena apa yang dialaminya.

Hal ini berawal dari komentar di sosmed soal mantan pacar. Miris potret pelajar saat ini dengan segala problematikanya, seolah moral anak bangsa sudah luntur hingga memiliki karakter yang menakutkan.

Baca Juga

Kasus kekerasan pelajar sebetulnya pernah juga terjadi sebelum sebelumnya. Kasus kekerasan pelajar terhadap guru sampai meninggal pun pernah terjadi. Kasus bullying di Pontianak ini menambah daftar kekerasan pelajar di Indonesia.

Pendidikan akademis memang penting bagi para pelajar, tapi membentuk karakter atau akhlak yang baik bagi para pelajar jauh lebih penting. Peran orang tua dalam membentuk karakter anak juga menjadi prioritas.

Di mana orang tua membekali anak-anaknya dari kecil dengan pengajaran akhlak dan budi pekerti yang baik, sehingga anak bisa memiliki kepribadian yang baik pula. Kepribadian setiap manusia terbentuk oleh pola pikir dan pola sikapnya.

Pola pikir adalah bagaimana cara dia berpikir dalam menghukumi sesuatu, jika disandarkan pada yang benar maka dia akan memiliki pola pikir yang benar juga.

Maka Islam satu-satunya yang bisa dijadikan sandaran ketika menghukumi segala sesuatunya. Standar halal haram dalam Islam akan membentengi setiap perbuatan yang dinilai akan mendatangkan dosa.

Sedangkan pola sikap adalah pemenuhan dari naluri dan kebutuhan jasmani sesuai dengan yang diimaninya. Dan ini juga jika distandarisasi dengan Islam maka akan sesuai pemenuhannya, keduanya akan membentuk berkepribadian islami.

Nah pembentukan karakter seperti ini yang seharusnya dibekali kepada anak oleh  orang tua. Lebih baik lagi saat lingkungan dan suasana sekolah mendukung juga dengan tambahan pendidikan akhlaknya.

Jadi pelajar bukan hanya dituntut nilai akademis yang baik saja, melainkan siswa/siswinya dituntut agar selalu berbuat baik, bersikap hormat terhadap gurunya dan berbuat baik terhadap yang lain meski diluar sekolah sekalipun. Kontrol masyarakat dan juga dari negara adalah yang terpenting agar setiap individunya senantiasa berjalan sesuai kaidah keimanannya.

Wallahu 'alam bisshowab

Pengirim: Widiya Agustin, Aktivis Muslimah Kota Banjar

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement