Senin 08 Apr 2019 23:23 WIB

Salah Kaprah, Negara Mandiri dengan Investasi Asing

Investasi asing akan menjadikan orang lain menjadi tuan di tanah air

Investasi.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Investasi. (ilustrasi)

Pada debat Capres keempat Pemilihan Presiden 2019, calon presiden nomor urut 01 yang juga petahana Joko Widodo menyatakan akan memajukan permasalahan investasi asing dalam proyek-proyek infrastruktur, dengan Indonesia mempertahankan mayoritas kepemilikan. Ia mengutip keberhasilan pemerintah dalam mendapatkan kontrol mayoritas dari pertambangan tembaga dan emas Grasberg dari Freeport-McMoran Inc. 

Namun, apakah benar seperti yang dinyatakan oleh Pak Jokowi, bahwa dengan investasi asing dapat memajukan atau membangun kemandirian negara? Tentu jawabannya tidak benar. Pemerintah saat ini memiliki pandangan bahwa yang disebut prestasi ekonomi adalah jika mereka mampu menghadirkan permodalan asing ke Indonesia. 

Baca Juga

Artinya, semakin banyak modal asing yang masuk ke Indonesia, maka pemerintah dianggap semakin sukses dalam membangun ekonomi. Dianggap tidak akan merugikan rakyat sama sekali, tetapi justru akan menguntungkan rakyat. Dengan banyaknya penaman modal asing yang masuk ke negeri ini maka akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat. 

Kebijakan seperti ini jelas akan menjadikan pihak asing menjadi tuan-tuan di negeri kita. Mereka memiliki berbagai perusahaan besar dan  menguasai segenap aset sumber kekayaan alam. Sementara rakyat Indonesia hanya akan dijadikan sebagai ‘jongos’ di negeri sendiri. 

Syariah Islam telah memiliki aturan yang jelas. Al-qur’an dan Sunah telah memberikan koridor, bahwa kepemilikan dalam pandangan ekonomi Islam itu dibagi tiga yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. 

Khusus untuk kepemilikan umum, yang meliputi berbagai pertambangan besar, minyak bumi, gas alam, batubara, hutan dan sebagainya, wajib dikelola oleh negara untuk didistribusikan kepada pemiliknya yang hakiki yaitu rakyat. Secara adil dan merata, secara langsung maupun tidak langsung. Kepemilikan umum tersebut tidak boleh berpindah kepemilikannya, baik berpindah kepada negara maupun kepada swasta, apalagi kepada swasta asing. Semua Undang-undang  dan kebijakan yang dibuat pemerintah wajib taat kepada asas ini. 

Jika ada swasta nasional atau asing hendak berbisnis di dalam koridor kepemilikan individu, maka hal itu dibolehkan. Namun, jika swasta nasional atau asing hendak berbisnis untuk menguasai kepemilikan umum, maka hal tersebut dilarang. Sedangkan untuk penguasaha asing, amaka akan dilihat terlebih dahulu, yaitu berkaitan dengan status kewarganegaraanya. 

Oleh karena itu, tidak mungkin ada negara yang mau mengamalkan sistem ekonomi Islam, kecuali apabila negara itu telah mengimani Al-qur’an dan Sunnah. Hingga dapat dipastikan bahwa prioritas dan  mekanisme alokasi anggaran dan belanja dalam pemerintah Islam dapat menghindari investasi asing dengan pengelolaan sumber daya alam yang benar dan amanah. 

Pengirim: Rindyanti Septiana S.Hi, Pegiat Literasi Islam &Kajian Islam Politik Medan

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement