Senin 08 Apr 2019 11:07 WIB

Kenali Keunikan Potensi Anak Sejak Dini

Pendidikan anak dimulai pada saat seseorang berencana menikah.

Yayasan Perguruan Al Iman Bojonggede, Bogor, menggelar kajian filsafat pendidikan bertema “Pentingnya Mengenali Keunikan Potensi Anak Sejak Dini”.
Foto: Dok SDIT Al Iman
Yayasan Perguruan Al Iman Bojonggede, Bogor, menggelar kajian filsafat pendidikan bertema “Pentingnya Mengenali Keunikan Potensi Anak Sejak Dini”.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Manusia diberikan keistimewaan oleh Allah SWT yang tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian halnya setiap anak memilki keunikan atau keistimewaan yang menjadi ciri khasnya, karenanya hargai anak apapun kondisinya.

Hal itu mengemuka dalam Kajian Filsafat Pendidikan bertema “Pentingnya Mengenali Keunikan Potensi Anak Sejak Dini”, di Masjid Al Iman Sekolah Islam Terpadu (SIT) Al Iman Bojonggede, Bogor,  Jawa Barat, Sabtu (6/4). Kajian itu dihadiri oleh guru, staf, dan orang tua murid SIT Al Iman, serta guru-guru dari sekolah sekitar Bojonggede.

Kajian dibuka oleh Afrizal Sinaro, ketua Yayasan Perguruan Al Iman. Ia menyatakan pentingnya kegiatan ini untuk pengembangan kompetensi guru dan sebagai jembatan silaturahim dengan orang tua murid dan antar sekolah. “Kajian-kajian seperti ini dengan tema yang berbeda akan rutin dilaksanakan di Al Iman dan menghadirkan nara sumber yang berkompeten,” ungkap Afrizal Sinaro dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (8/4).

Kajian filsafat pendidikan itu menampilkan Zulfikri Anas, pakar pendidikan untuk kehidupan dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemdikbud. Menurutnya pendidikan anak dimulai pada saat seseorang berencana menikah, ketika ia memilih pasangan hidupnya untuk membangun mahligai rumah tangga. Selanjutnya proses pendidikan berlanjut di dalam kandungan yang pada usia tertentu berdasarkan penelitian si jabang bayi sudah dapat mengenali suara ibunya.

Zulfikri menambahkan pentingnya pertumbuhan anak di gendongan ibu atau ayahnya dan pada saat ibu menyusui. Kondisi ibu sangat menentukan kualitas produksi ASI dan aktivitas ibu saat menyusukan juga mempengaruhi kuatnya sedotan ASI, sehingga ibu dan anak diharapkan dalam kondisi rileks, senang, dan bahagia. 

Setelah menyusui adalah saat yang menenangkan bagi ibu dan anak, karena ibunya butuh mengeluarkan ASI dan anak juga butuh dan hadir minum ASI-nya. “Kesempatan untuk mengenali anak sejak dini dimulai pada saat ibu menggendong dan menyusui anak. Melalui komunikasi batin ibu merekatkan ikatan psikologis dan mendidik dengan mengafirmasi nilai-nilai atau harapan terhadap anaknya,“ papar Zulfikri yang telah menulis buku terbaru Guru untuk Kehidupan. 

Lebih lanjut, ia menyoroti fenomena orang tua muda sekarang yang membuang kesempatan emas untuk membangun kedekatan dan merajut ikatan batin dengan anak dengan tergantung pada penggunaan troli dorong saat bepergian. Sementara bisa jadi itulah waktu luang untuk berdua dengan anak di tengah padatnya kesibukan. “Seberapa capek yang dirasakan saat menggendong anak dibanding kebahagiaan merasakan detak jantung anak dan damainya anak di dalam dekapan,” tuturnya.

Dengan pendekatan teologis dan filosofis, Zulfikri mengurai hakikat pendidikan yang berakar di agama. Ia menyatakan, ilmu mendidik sudah tuntas dengan turunnya surat Al Maidah (5): 3. Hanya saja agama memberikan isyarat dan simbol saja. Istilah, manual dan teknis pendidikan diserahkan kepada manusia.

Teori-teori pendidikan yang muncul belakangan secara garis besar telah dijelaskan di dalam Alquran  dan dicontohkan pada praktek pendidikan oleh Nabi Muhammad Saw. “Merujuk pada firman Allah bahwa setiap manusia diutus menjadi khalifah, sejatinya semua kita adalah guru. Orang tua adalah guru yang pertama dan utama bagi anaknya, setiap orang dewasa menjadi guru bagi anak-anak,” ujarnya. 

Terkait dengan hal ini, kata dia, penting mengenali keunikan anak sejak dini. Sikapi hal aneh yang tidak dilakukan temannya. Semua yang terjadi di alam raya ini merupakan rencana matang dari Allah. Setiap nyawa yang diberikan, sudah diperhitungkan dengan sempurna untuk apa dia lahir. Manusia diberikan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain dan setiap orang mempunyai kekurangan sehingga harus berkolaborasi dan menerima orang lain. 

Menurut Zulfikri, kesalahan orang dewasa sering membandingkan anak dan selalu menghendaki anak memiliki kesamaan dengan anak yang lain, dalam nilai dan lain sebagainya. “Menghilangkan keunikan anak sama halnya dengan mengingkari fitrah manusia, mengingkari hasil ciptaan Allah sama halnya dengan mengingkari Allah sang pencipta alias kufur nikmat. Maka hargai keunikan anak apapun kondisinya,” tandasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement