Ahad 07 Apr 2019 13:46 WIB

Pertunjukan Monolog

Nyatanya kita lebih sering tertipu oleh apa yang sampai pada mata.

Pertunjukan Monolog
Foto:

Selain memiliki wajah cantik dan penge tahuan luas, dia juga cukup mudah diajak berdiskusi, meskipun sebenarnya aku tidak terlalu suka berdiskusi. Semakin memikirkannya pikiranku melambung semakin jauh. Terutama tentang seorang perempuan yang selalu duduk di dekat jendela dan kulihat bersemayam dalam dirinya.

“Kau masih berpikir bahwa aku mengingatkanmu pada seseorang?” Dia menoleh, memastikan aku mendengar kata-katanya, lalu memalingkan wajah ke panggung.

Aku tidak bisa untuk bilang tidak. “Bukan hanya mengingatkan, tapi kau mirip sekali dengannya.”

“Sudah kubilang, wajahku pasaran. Yang memiliki bentuk wajah sepertiku pasti banyak, tidak hanya aku.”

Apakah wajah cantik juga pasaran? Tapi aku yakin, kataku padanya, setiap orang yang datang ke kehidupan kita, entah hanya sekejap atau lama, baik yang secara sengaja atau tidak, pasti memiliki alasan-alasan, termasuk kau.

Dia hanya menyunggingkan senyum. Kuperhatikan penonton di dekat tiang tenda. Seorang perempuan mengenakan celana kain, mungkin seorang guru atau seorang karyawan sebuah kantor pemerintahan, sedang menahan anaknya yang berambut keriting, kira-kira berusia enam tahun, untuk tidak pergi kelayapan di sela-sela kerumunan penonton.

Anak itu tetap memaksa. Akhirnya, perempuan berwajah lembut itu membiarkan anaknya lari-lari memutari area pertunjukan yang tidak terlalu besar. Pertunjukan masih terus berlangsung.

Cahaya lampu yang ada di atas panggung seolah memisahkan kami sebagai penonton dengan Gomblo sebagai sebuah dunia yang sedang kami tonton. Ibarat sebuah film di bioskop, pertunjukan yang ditampilkan Gomblo adalah adegan-adegan yang ditampilkan pada sebuah layar melalui suatu sistem yang sudah dirancang khusus, sementara kami merasa seolah berada di dunia yang lain, dunia penonton. Padahal, antara kami dan Gomblo di atas panggung hanya terpisah oleh jarak kira-kira dua meter.

Setelah hampir satu jam berlangsung Gomblo mengakhiri pementasannya dengan menundukkan kepala seraya diikuti gemuruh tepuk tangan penonton. Pembawa acara naik lagi ke atas panggung dan meminta dua penonton maju ke depan, meminta pendapat mereka tentang pertunjukan tadi.

Aku mengajak perempuan itu menjauh dari ingar-bingar panggung. Aku mengambil dua botol teh dingin dan membayar semuanya dengan uang 50 ribu rupiah. Seraya memberikan satu botol kepada perempuan itu aku menyebutkan namaku, dia juga.

“Bagaimana penilaianmu terhadap pertunjukan tadi?” tanyaku tidak ingin kehilangan kesempatan mengobrol dengannya.

“Jujur, aku tidak terlalu menikmatinya.” Dia kelihatan agak kaku. “Maksudku, aku tidak bisa menilainya secara objektif.”

“Kau terlihat tegang.”

Dia meminum teh botol beberapa tegukan. “Laki-laki yang tadi mementaskan monolog adalah mantan suamiku. Dulu kami sama-sama bergabung dalam satu kelompok teater.”

Aku menelan ludah. “Saat masih bersama-sama kami kerap bertengkar dan itu dipicu oleh kebutuhan-kebutuhan keluarga. Dua tahun yang lalu kami memutuskan bercerai. Kadang, masalah ekonomi menjadi sebab bercerainya sepasang suami-istri.”

Kami terus berbincang hingga sebuah mobil datang menjemputnya. Sepeninggal perempuan itu aku kembali ke depan panggung, duduk menopang dagu, menunggu Nor Agus membacakan puisinya.

 

TENTANG PENULIS

LATIF FIANTO. Lahir di Sumenep. Cerpennya, “Kota Agats”, juara 3 Festival Sastra Islam Nasional, FLP Makasar, 2015. “Perempuan yang Berdiri Sepanjang Waktu” masuk sepuluh pemenang Lomba Cerpen Kisah-Kisah Kota Lama Semarang, 2016. Novel pertamanya Batas Sepasang Kekasih (Basabasi, 2018).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement