Kamis 28 Mar 2019 17:52 WIB

UNBK Bukanlah Perjalanan Akhir Menuntut Ilmu

Sangat disayangkan bila makna pendidikan direduksi hanya sekadar mengejar ijazah

Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 47 Jakarta, Senin (25/3).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 47 Jakarta, Senin (25/3).

Kurang lebih sepekan lagi, tepatnya pada tanggal 1, 2, 4, dan April 2019 siswa dan siswi di jenjang sekolah menengah atas (SMA) akan menghadapi hari-hari penuh tantangan selama ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Menurut laman unbk.kemdikbud.go.id, UNBK pada tahun pelajaran 2018/2019 ini akan diikuti oleh 12.840 SMA dengan 1.519.635 siswa.

Berbagai persiapan dilakukan jauh-jauh hari. Sejak awal tahun pelajaran, misalnya, siswa dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas tidak ragu-ragu untuk mendaftar pada lembaga bimbingan belajar di luar sekolah meskipun dengan biaya yang cukup tinggi. Hal tersebut tidak lepas dari dukungan orang tua mereka. Salah satu harapannya adalah supaya putra dan putri mereka bisa bersaing untuk mendapatkan kursi di perguruan tinggi negeri (PTN) impian.

Baca Juga

Secara normatif, evaluasi adalah sesuatu yang memang harus dilakukan dalam bidang apa pun, apalagi dalam proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan formal. Salah satu tujuan penting dari evaluasi adalah untuk mengukur sejauh mana keberhasilan suatu proses. Khusus Ujian Nasional, model evaluasi ini

juga dimaksudkan sebagai metode pemetaan (mapping) sehingga bisa menjadi acuan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait pendidikan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, ujian (nasional) tidak seharusnya dijadikan sebagai beban, karena bahkan sejak duduk di Sekolah Dasar, putra-putri kita sudah terbiasa dengan berbagai macam tes atau ulangan.

Hanya saja, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan terkait pelaksanaan UNBK ini.

Pertama, ujian nasional berbasis komputer (UNBK) yang disebut juga computer based test (CBT) adalah sistem pelaksanaan ujian nasional dengan menggunakan komputer sebagai media ujiannya. Dalam pelaksanaannya, UNBK berbeda dengan sistem ujian nasional berbasis kertas atau paper based test (PBT)

yang selama ini sudah berjalan. Dengan demikian, peralihan dari CBT menjadi PBT hanyalah dari sisi media/sarana ujian. Sejak dirintis tahun 2015 sampai sekarang, pelaksanaan UNBK terus mengalami perbaikan dari tahun ke tahun, baik dari jumlah sekolah yang berpartisipasi maupun kemudahan sistemnya. 

Tentu hal ini adalah sesuatu yang patut disyukuri. Sebagai bagian dari masyarakat era digital, siswa dan pendidik memang dituntut untuk beradaptasi menghadapi perubahan ini. Namun sungguh disayangkan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa proses adaptasi ini terkendala berbagai kesulitan.

Tidak semua sekolah mampu menyediakan fasilitas lab komputer yang mencukupi atau mendorong siswa untuk membawa laptop sendiri. Oleh karena itu, ada harapan supaya pemerintah tidak hanya sekadar mencanangkan kebijakan baru, namun juga menggenapkannya dengan memberikan fasilitas yang terbaik dan merata di semua daerah.

Kedua, UNBK bukanlah tujuan akhir dari proses pendidikan. Sebagai Muslim, kita harus memahami bahwa menuntut ilmu adalah bagian dari kewajiban individual dan kewajiban kolektif, khususnya untuk ilmu-ilmu yang terkait sains dan teknologi. Tentu saja ada tujuan luhur di balik kewajiban agung ini, salah satunya adalah supaya generasi muda Muslim bisa menjadi pelopor kemajuan dan kesejahteraan bangsa, serta menjadi pemimpin (khalifah) di muka bumi.

Allah SWT berfirman: “… Niscaya Allah SWT akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat ….” (QS al-Mujadalah (58):11)

Sungguh sangat disayangkan apabila pendidikan direduksi maknanya menjadi hanya sekadar cara untuk mendapatkan ijazah, masuk kampus ternama, mendapatkan pekerjaan, dan segudang tujuan-tujuan duniawi lainnya.

Pendidikan hakikatnya adalah proses memaknai hakikat penciptaan manusia untuk beribadah, meningkatkan ketakwaan serta membentuk karakter manusia (muslim) sehingga memiliki kepribadian (syakhsiyyah) Islam. Dengan begitu, makna pendidikan menjadi lebih luas dan bisa dilakukan siapapun dan kapanpun, tidak hanya saat berada di bangku sekolah saja.

Dengan pandangan tersebut, tentu kita mendambakan proses pendidikan berbasis aqidah Islam yang diterapkan secara terpadu dan terintegrasi dalam kurikulum di semua jenjang sekolah, bukan hanya pada mata pelajaran agama saja. Harapannya, tidak lagi ada dikotomi antara “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat”.

Kita merindukan output pendidikan yang tidak hanya cerdas dalam sains, namun juga bertakwa, siap bersaing, dan siap mengarungi medan kehidupan yang semakin sulit dari waktu ke waktu.

Selamat menempuh ujian!

Pengirim: Evi Widianti S.Pd, Guru di SMAN 1 Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement