Sabtu 30 Mar 2019 05:37 WIB

Menjaga Hutan Papua dari Keserakahan Manusia

Masyarakat Suku Moi di Sorong, Papua bersikukuh memelihara hutan sebagai kebutuhan

Rep: Priyantono Oemar/ Red: Karta Raharja Ucu
Sagu menjadi pangan lokal andalan masyarakat adat Moi Kelim. Beras bukan makanan pokok mereka.
Foto:
Yosmina Do (kanan) sedang menganyam noken, Agustina Salamala (kiri) sedang menjahit koba-koba.

Kajian valuasi ekonomi

Untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari laut, menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Universitas Padjadjaran Bandung Dr Zuzy Anna, nilai pemanfaatan ikan mencapai Rp 3,894 miliar per tahun. Terbagi Rp 3,421 miliar oleh nelayan penuh dan Rp 473 juta oleh nelayan paruh waktu.

Pengambilan manfaat ikan laut bisa dilakukan masyarakat rata-rata dua kali dalam sepekan. Rata-rata pengambilan hanya dua kilogram. Untuk mereka yang bekerja sebagai nelayan penuh, rata-rata bisa mengambil  sembilan kali dalam sebulan. Rata-rata pengambilan 19,4 kilogram.

Zuzy Anna bersama PD AMAN Sorong dan Tim Ekonomi AMAN sudah melakukan kajian valuasi ekonomi lanskap masyarakat adat Moi Kelim di Kampung Malaumkarta pada 2018. Terungkap ada nilai total ekonomi lanskap masyarakat adat di Malaumkarta sebesar Rp 156,39 miliar per tahun.

Hasil perhitungan Zuzy menunjukkan nilai ekonomi berupa manfaat langsung yang diterima masyarakat Malaumkarta dari sumber daya alam itu mencapai Rp 3,4 juta per keluarga per bulan. "Nilai ini melebihi upah minimum regional Papua Barat pada tahun 2018 sebesar Rp 2,67 juta per bulan,’’ ungkap Zuzy di Sorong.

Dari lanskap masyarakat adat Moi Kelim di Malaumkarta, ada banyak nilai manfaat yang dihitung, baik manfaat langsung maupun manfaat tak langsung. Selain nilai manfaat sumber pangan, dihitung pula nilai manfaat pariwisata, budaya seperti mahar perkawinan, hasil kerajinan, kain denda adat, dan sebagainya. Mahar perkawinan terhitung memiliki nilai tinggi.

Sumber pangan yang dihitung mencakup manfaat sumber pangan dari laut dan hutan. Masyakarat Moi Kelim di Malaumkarta terbiasa keluar-masuk hutan dan laut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. "Nilai total dari pemanfaatan bahan pangan dari alam tersebut adalah 1,97 miliar per tahun," ungkap Zuzy.

Dari sagu saja –sumber pangan dari hutan, Zuzy mendapatkan hitungan nilai manfaat langsung yang didapat masyarakat Malaumkarta sebesar Rp 216,57 juta per tahun. Pemanfaatan per tahun per keluarga rata-rata mencapai 38,4 noken sagu.

 Kondisi ini, menurut Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman, menunjukkan keberadaan pangan lokal itu cukup menjanjikan. Seharusnya, pemerintah memperkuat pangan lokal ini daripada terus-menerus impor beras.

Masyarakat Malaumkarta pun tak beralih ke beras. Mereka masih mengandalkan sagu dan ubi. Everadus memberi kesaksian, beras dikonsumsi bergantian dengan sagu dan ubi, tetapi biasanya, menurut Tori, beras dikonsumsi jika ada tamu.

"Sagu per noken ada yang Rp 150 ribu, ada yang Rp 200 ribu, berdasarkan besar-kecilnya noken,’’ ungkap Jefri. "Satu noken sagu yang berharga Rp 150 ribu, beratnya 15 kilogram," timpal Tori seraya menambahkan ada pula noken yang memuat 30 kg sagu.

photo
Dr Zuzy Anna dari Unpad Bandung (kedua dari kiri) sedang menyimak penjelasan Yosmina Do tentang noken suku Moi.

Saat Zuzy melakukan penelitian lapangan pada Februari 2018, harga sagu Rp 120 ribu per noken. "Satu noken cukup untuk makan dua minggu," ujar Meli Kalami saat mengolah sagu di hutan bersama suaminya, Agustinus Magablo.

Maka, Meli dan suaminya mengambil sagu dua pekan sekali, jika itu hanya untuk dikonsumsi sendiri. Agar batang sagu tidak membusuk, dibuatkan pelindung agar tidak terkena air hujan. Jika tujuannya untuk mendapatkan ulat sagu, batang sagu yang sudah ditebang akan dibiarkan membusuk. Ulat sagu mengandung protein yang tinggi.

Dari umbi-umbian, kata Zuzy, masyarakat mendapat nilai manfaat langsung sebesar Rp 164,36 juta per tahun. Pemanfaatan per keluarga per tahun rata-rata mencapai 349,7 kg. Jika dijual harganya Rp 10 ribu per kg.

Sayuran juga menjadi keseharian masyarakat Malaumkarta. Ada daun gedi, kangkung, bunga papaya, yang menjadi teman papeda beserta ikan kuah kuning. Rata-rata per tahun per keluarga memerlukan 1.378 ikat sayuran, dengan nilai mencapai Rp 97,169 juta per tahun.

Per ikat sayur, kata Jefri, biasa dijual dengan harga Rp 10 ribu. Harga yang sama berlaku untuk setumpuk pinang. Menurut penelitian Zuzy, pinang juga memiliki potensi ekonomi dengan nilai manfaat per tahun Rp 174 juta. Rata-rata per keluarga per tahun memanfaatkan 370,3 tumpuk buah pinang. Satu tumpuk sekitar 6-7 biji.

Untuk buah-buahan, nilai manfaat langsung yang diterima masyarakat mencapai Rp 291,746 juta per tahun. Rata-rata per keluarga memanfaatkan 365 kilogram buah-buahan per tahunnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement