Kamis 21 Mar 2019 14:58 WIB

Di Tengah Desing Mesin

Jamil menggigil di kamar ketika tentara menginterogasi emak di teras rumah

Di Tengah Deru Mesin
Foto:

Detik demi detik hari itu terasa begitu panjang. Setelah memeriksa rumah, militer, bahkan beristirahat di teras. Membuka nasi ransum dan makan siang.

Pria bersurban yang memimpin kelompok kecil militer itu bahkan membuka pita hitam di lengannya. Di sana terlihat luka menganga, mulai menghitam.

"Sini ibu obati, sebentar saya ambil obat dulu," kata ibu masuk ke dalam rumah.

Militer bahkan semakin curiga pada Emak. Mengapa ada wanita renta di pelosok Aceh persis di pinggiran hutan memiliki kemampuan mengobati luka. Emak seakan paham pertanyaan di kepala para tentara itu pun menjelaskan, ketika sebelum meletus peristiwa 65, di mana aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) dilarang, dia mengeyam pendidikan perawat.

Memasuki kelas tiga, dia menikah dengan bapak. Atas nama cinta, pendidikan keduanya ditinggalkan. Saat itu, Ayah sedang pendidikan tentara, di samping markas latihan itulah kampus Emak berada. Mereka jatuh cinta. Lalu lari dari pendidikan masing-masing dan menikah. Karena itu, Emak bisa mengobati luka, perkakas pengobatan berupa perban, penghilang rasa nyeri pun selalu ada di rumah.

Tentara itu menaruh hormat. Bahkan, mencium tangan Emak tanda takzim. Merasa Emak juga pejuang bangsa ini, membantu tentara era 1965.

Pemeriksaan demi pemeriksaan militer terus dialami Emak. Karena itu pula, pendengarannya sangat terlatih. Begitu ada orang berjalan di luar rumah, walau malam hari, dan emak tertidur nyenyak, pasti dia segera bangun. Menggerehem sebagai kode di dalam rumah ada penghuninya.

Satu hal yang dikhawatirkan Emak selama masa perang ini, militer akan membakar rumahnya. Gerehem itu sebagai kode di dalam rumah ada penghuni dan jangan dibakar.

Terkadang militer geram akan tindakan gerilyawan yang kerap menyerang mereka tiba-tiba, setelahnya lari ke permukiman warga. Saat itulah, api membumbung dari rumah yang dicurigai milik gerilyawan. Namun, jika digerehem, militer hanya memeriksa seisi rumah.

Matahari baru saja tenggelam ketika aku membawakan surat dari Ayah. Surat itu dikirim ke sekolah, dan tiba siang tadi. Emak membaca seksama. Raut wajahnya datar. Nyaris tanpa ekspresi. Aku tak membaca sedikit pun isi surat dari Ayah.

"Ambil kertas dan tulis apa yang kukatakan."

Aku merobek kertas dari buku sekolah. Lalu mendengar ucapan demi ucapan Emak. Sungguh aku terkejut mendengar ucapannya.

"Suamiku, kurestui engkau menikah. Aku tak bisa memenuhi kebutuhanmu karena jarak ruang dan waktu. Kau bisa menikah. Jangan khwatirkan anak-anak, mereka bersamaku dan terus kujaga sepanjang usiaku. Namun, surat ini berharap untuk balasan kata cerai darimu. Karena sebaik-baik wanita adalah mengikhlaskan suaminya menikah dan tidak menyakiti wanita lainnya. Engkau mendapat restuku."

Matahari terus menanjak, persis di atas kepala. Emak masih duduk bersila. Tangannya mengambil wadah tempat air ludah bekas sirih yang dikunyah. Tujuh hari ini, dia menunaikan tugasnya sebagai seorang ibu, yang membantu anak-anaknya mengurus proses pemakaman ayah mereka. Bukan sebagai seorang istri.

"Kau harus rajin berziarah ke makam ayahmu. Kirimkan doa untuknya. Segala perbuatannya meninggalkan kalian atas izinku. Jangan salahkan dia."

Bagi kami, ucapan Emak adalah perintah yang harus dilaksanakan. Emak pula yang menemani kami melewati perang hingga musim damai ini tiba. Perintah emak yang menggerakan langkahku menjemput ayah di rumah istri mudanya untuk ke rumah sakit. Mengobati penyakit hati.

Ayah meninggal sepekan setelah dirawat di rumah sakit. Persis di pangkuan Emak dan kami sebagai saksinya. Sedangkan, istri mudanya tak pernah hadir hingga hari-hari terakhirnya menghadap sang pencipta. Dan, seorang gadis ke cil, berusia tujuh tahun hari ini, anak ayah dengan istri mudanya pun kini bersama Emak.

"Aku merestui ayahmu. Anak ini, juga anakku. Juga adik kalian. Jangan kucilkan dia. Ayahmu sama seperti warga lainnya, sama seperti militer atau gerilyawan yang kutolong. Ini bukan soal hati. Ini soal kemanusiaan. Kalian harus memanusiakan manusia."

TENTANG PENULIS

MASRIADI SAMBO. nama pena dari Masriadi, penulis novel Cinta Kala Perang

(ElexMedia 2015), Cinta Kala perang (Kaki Langit Kencana, 2016), dan jurnalis

Kompas.com serta pengajar Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh,

Aceh. Bisa dihubungi lewat [email protected].

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement