Rabu 20 Mar 2019 18:38 WIB

Wakil Ketua MPR tak Setuju UN Dihapuskan

Penghapusan UN dinilai bukan wacana yang solutif dalam masalah pendidikan nasional.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah pelajar bersiap mengerjakan soal ujian saat gladi bersih Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2019 di SMA N 1 Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (12/03/2019).
Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah
Sejumlah pelajar bersiap mengerjakan soal ujian saat gladi bersih Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2019 di SMA N 1 Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (12/03/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, SANGASANGA -- Janji pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno untuk menghapuskan ujian nasional (UN) dinilai bukan wacana yang solutif dalam masalah pendidikan nasional. Wakil Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) Mahyudin mengatakan, masalah utama di bidang pendidikan nasional yang harus diselesaikan di era kepemimpinan mendatang, adalah memastikan pemangkasan kesenjangan dan kualitas pendidikan.

Mahyudin mengatakan, kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah jika dibandingkan masalah yang sama di negara lain. Di dalam negeri, kesenjangan pendidikan tampak di antardaerah. Disparitas paling kentara, antara kualitas pendidikan di Pulau Jawa, dan pulau-pulau lainnya.

Kesenjangan tersebut, juga termasuk dalam fasilitas, sarana, dan prasarana. “Kita akan sangat dangkal kalau persoalan pendidikan ini hanya sebatas untuk menghapus UN. Yang paling penting dalam pendidikan itu, adalah adanya kualitas pendidikan yang sama. Di Jawa dan di Kalimantan, sama. Di daerah-daerah lain, juga harus sama kaulitasnya,” kata Mahyudin di Sangasanga, Kalimantan Timur (Kaltim), Rabu (20/3).

Cawapres 02 Sandiaga Uno dalam debat Pilpres 2019 pada Ahad (17/3) menjanjikan akan menghapuskan UN jika berhasil mendapat kepercayaan untuk memimpin negara. Sandiaga mengatakan, bersama Prabowo Subianto ia ingin mengganti UN dengan penelusuran minat dan bakat dalam penentuan kelulusan.

Wacana menghapus UN ini, sebetulnya bukan ide orisinal dari Sandi. Di era kepemimpinan sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi), menghapus UN, juga pernah menjadi wacana. Di Pilpres 2014, Jokowi, pun punya janji serupa. Namun tak sanggup terealisasi.

Mahyudin mengatakan, UN harus tetap ada. Ujian tersebut, sebagai salah satu baromoter meningkatnya kualitas dan hasil dari pendidikan yang dijalani oleh para siswa didik. Hanya menurut politikus Partai Golkar tersebut, yang keliru selama ini, menjadikan UN sebagai tolok ukur dalam kelulusan siswa.

Sistem tersebut, menurut dia sudah usang. Apalagi dengan tradisi UN yang dilakukan setiap tahun. “UN ini tidak urgent (penting) untuk dibahas. UN ini harus tetap ada, tetapi bukan sebagai syarat kelulusan. Urgensi dari pendidikan saat ini, memastikan adanya pemerataan dalam bidang pendidikan. Sekolah di sini (di luar Jawa), harus sama dengan yang ada di Jawa, dan Jakarta,” ujar dia.

Selain menjanjikan akan menghapuskan UN, dalam debat Pilpres, cawapres Sandiaga, juga mewacanakan peningkatan subsidi pendidikan. Subsidi tersebut demi menjamin terselenggaranya wajib sekolah 12 tahun dan gratis. Mahyudin mengapresiasi janji tersebut. Karena kata dia, hak mendapatkan pendidikan bagi warga merupakan tanggung jawab negara.

Selama ini, pemerintah baru sanggup menjamin pendidikan gratis dengan wajib belajar sembilan tahun. Artinya, pemerintah baru sanggup memastikan pendidikan gratis dari Sekolah Dasar (SD) sampai lanjut pertama (SMP).

Dengan wajib belajar 12 tahun, memberikan tanggung jawab kepada negara, untuk menggratiskan sekolah sampai tingkat atas (SMA). “Itu (janji wajib belajar 12) sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Bila perlu pemerintahan yang akan datang, harus memastikan terselenggaranya pendidikan sampai jenjang sarja. Gratis dari SD sampai lulus kuliah. Kalau tidak seperti itu (wajib belajar sampai sarjana), kapan generasi kita, jadi unggul,” sambung Mahyudin. 

    

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement