Ahad 17 Mar 2019 12:07 WIB

Nawang Wulan dalam Pelukan

Bidadari itu bukan di kahyangan, tapi di dalam kereta.

Nawang Wulan dalam Pelukan
Foto:

Satu pekan sudah aku berpisah dengan Dewi Nawang Wulan yang turun dari kereta. Bau harum minyak wanginya masih tersisa di ujung hidungku. Aku berkencan dengan ingatan. Setangkup rindu merambat pelan merambat ke dalam dada. Setidaknya matahari lebih paham cara berpamitan. Membiarkan pengagumnya menikmati keindahannya perlahan-lahan di batas perpisahan.

Ah mengapa aku ini. Aku jatuh cinta kepada perempuan yang hanya kutemui empat setengah jam di atas kereta. Gilanya perempuan itu memiliki pasangan. Entah kekasih, atau mungkin suami.

Adakah pekerjaan yang paling puitis selain berlari mengejar-ngejar rindu? Jawabnya ada, yaitu mengingat lesung pipi saat Sarah tersenyum.

Aku raba kantong jaket katun biru dongker yang selalu kupakai ketika berpergian. Jemari tanganku menemukan sesuatu. Selembar kertas bekas. Kubuka, lalu untaian huruf-huruf membentuk sebuah kata yang bersalin menjadi kalimat, lalu menjelma menjadi alamat. Alamat rumah. Rumah Sarah.

Kini aku kembali merasakan girangnya menjadi Jaka Tarub. Kertas itu bagaikan selendang Dewi Nawang Wulan yang disimpan Jaka Tarub diam-diam. Kertas itu bagai minyak kesturi yang disuntikkan ke dalam lampu minyak yang nyala apinya hampir padam. Api harapan.

Batinku berperang. Tetap simpan alamat itu, atau buang ke dalam Sungai Ciliwung yang kini ada di hadapannya. Sarah sudah berpasangan. Tapi tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kemungkinan selalu ada, meski sangat kecil peluangnya. Aku harus memastikan siapa pria itu.

Nekat, kupacu sepeda kumbang pinjaman dari kakakku. Alamat yang ditulis Sarah tidak jauh dari tempat aku kini berdiri. Hari Ahad. Semoga Sarah ada di rumah, gumamku sembari berharap.

Sepeda kumbang merek Gazelle itu kukayuh perlahan. Pasar Mester terlewati. Aku hafal betul jalan itu karena saban hari aku melewati untuk pergi ke kantor. Setelah perempatan jalan, aku belokkan sepeda ke kanan. Lalu gang ketiga atau keempat setelah perempatan itu adalah gang rumah Sarah. Aku menerka-nerka. Akhirnya ketemu.

Kereta angin buatan Belanda aku parkir di depan rumah Sarah. Rumah sederhana. Pagar besi beralur tombak, kokoh membentengi rumah dengan atap asbes. Jam tangan otomatis merek Titus di pergelanganku berhenti di angka empat. Sudah sore. Tapi belum terlalu petang untuk bertamu, pikirku.

"Assalamualaikum... Permisi," kataku di depan pintu pagar. Kuulangi sampai dua kali. Seperkian menit kemudian, pria bertubuh tegap keluar dari dalam rumah yang pintunya tidak tertutup. Pria dengan wajah yang sama saat menjemput Sarah di Stasiun Jatinegara. Gagah, layaknya tubuh tentara. Wajahnya seperti aktor Abdul Hamid Arief.

"Mau cari siapa, Mas?" suara baritonnya membuat lamunanku buyar. Pria itu berjalan mendekat ke pagar. Kini kami berdiri berhadapan dan hanya dibatasi pintu besi.

"Oh maaf, Pak. Saya Nursi. Saya mencari Sarah. Boleh saya bertemu?" tanya saya dengan hati-hati. Sedikit terbata.

Raut wajah pria itu berubah. Ia kaget. Sudah barang tentu. Itu semua terlihat dari alis matanya yang naik dan kulit keningnya yang mengkerut. Mungkin ia berpikir, siapa laki-laki yang nekat dan berani-beraninya mendatangi istri seorang tentara ke rumah. Tapi ia membukakan pintu pagar yang ternyata tidak terkunci. Aku dipersilakan masuk.

"Temannya Sarah? Silakan masuk. Saya Yatmo," kata dia sembari menjabat tanganku. Genggamannya keras.

Baru tiga langkah aku menginjak pekarangan rumah itu, dua anak kecil yang kutaksir berusia enam dan sembilan tahun menghampiri pria itu. "Panggil ibu kalian, suruh buatkan minum. Ada tamu," katanya. Perintah pria itu membuat dadaku berdekup. Mati aku.

Dua anak kecil itu menggeret tangan seorang perempuan dari dalam ruang tengah. Sarah keluar dari dalam ruangan yang tersekat lemari pajangan berbahan kayu. Sarah sore itu memakai blus warna biru di bawah lutut. Ayu. Wajahnya beringsut terkejut saat mengetahui siapa tamu yang datang. Tapi tak lama ia tersenyum.

"Kamu. Nur..Nursi."

Bersamaan dengan itu, seseorang di belakang Sarah yang membawa dua buang cangkir putih susu di atas nampan datang dengan tersenyum.

***

TENTANG PENULIS

KARTA RAHARJA UCU. Lahir dan besar di pinggiran Jakarta. Bukan cerpenis, novelis, apalagi sastrawan. Menulis cerpen hanya untuk bersenang-senang. Saat ini bertugas sebagai wartawan Republika. Bisa dihubungi lewat akun Instagram: @kartaraharjaucu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement