Rabu 13 Mar 2019 10:35 WIB

UGM Siapkan 5 Langkah Perangi Penyakit TB di Yogyakarta

DIY menargetkan zero TB pada 2035.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Dwi Murdaningsih
Konferensi pers peluncuran program Zero Tuberculosis di Pusat  Kedokteran FKKMK Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (12/3).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Konferensi pers peluncuran program Zero Tuberculosis di Pusat Kedokteran FKKMK Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (12/3).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pusat Kedokteran FKKMK Universitas Gadjah Mada (UGM) meluncurkan program Zero Tuberculosis Yogyakarta. Selama lima tahun, berbagai langkah akan dilaksanakan demi mengurangi angka penderita Tuberculosis.

Ketua Panitia Zero Tuberculosis, Rina Triasih mengatakan, target ambisius untuk DIY memang tanpa penderita TB pada 2035. Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo dipilih menjadi pilot project.

Baca Juga

Ia menjelaskan, pemilihan itu lantaran angka penderita TB yang cukup tinggi. Dibandingkan di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunungkidul, angka penderita TB di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo paling tinggi.

Pelaksanaan program ini akan difokuskan dengan melakukan lebih dalam deteksi penderita TB. Sebab, ia berpendapat, selama ini pendeteksian penderita TB masih belum bisa dilaksanakan secara optimal.

Untuk itu, program ini tidak cuma akan melakukan langkah-langkah Temukan, Obati Sampai Sembuh (TOSS). Menurut Rina, pendekatan yang dilakukan akan ditambahkan langkah-langkah pencegahan yang banyak diabaikan.

"Tadinya kita cuma akan melakukan lebih dulu di Kota Yogyakarta, tapi kita pikir jika kita bisa lakukan di dua daerah (ditambah Kabupaten Kulonprogo), mereka akan berkompetisi secara positif," kata Rina di FKKMK UGM, Selasa (12/3).

Rina menekankan, pelaksanaan program ini akan menitikberatkan sosialisasi dan deteksi kepada remaja. Hal itu ditetapkan lantaran selama ini remaja belum banyak dilibatkan baik dalam deteksi maupun mitigasi.

Untuk Kota Yogyakarta, deteksi dan sosialisasi akan memiliki target sekolah-sekolah. Sedangkan, untuk Kabupaten Kulonprogo, deteksi dan sosialisasi akan dilakukan dengan fokus pondok-pondok pesantren.

Rencananya, kegiatan-kegiatan akan diintegrasikan lewat sosialisasi reproduksi. Harapannya, keterlibatan remaja akan membuat sosialisasi makin masif, sekaligus dapat dikembangkan lewat cara-cara yang lebih kreatif.

Remaja, lanjut Rina, turut dipilih lantaran resiko terjangkit TB yang begitu tinggi. Terlebih, selama masa remaja sistem imun mereka akan turut mengalami transisi.

Rina, yang merupakan dokter di RSUP Dr Sardjito, menemukan dalam tiga bulan saja bisa ada sekitar enam anak yang menderita TB berat. Kondisi sama ditemukan RS Respira yang setahun terakhir mendapati 5-6 remaja terjangkit TB berat.

"Selama lima tahun pertama pelaksanaan program ini kita menargetkan terjadi penurunan angka penderita TB sebesar 50 persen," ujar Rina.

Untuk Kota Yogyakarta, Wirawan Haryo Yudo dari Kesra Pemkot Yogyakarta cukup sepakat resiko terjankit TB yang cukup tinggi. Pasalnya, rata-rata penduduk saja sekitar 14 ribu per kilometer.

Terlebih, cukup banyak masyarakat yang tinggal di kos-kos yang berkisar 420 ribuan, serta 1,5-2 juta jika menghitung mereka yang kos bersama. Belum lagi, karakteristik Kota Yogyakarta yang diselimuti sungai.

Kondisi itu membuat permukiman di Kota Yogyakarta yang sudah cukup padat, mendorong sebagian masyarakat tinggal di pinggiran sungai. Karenana, Haryo menekankan, program ini memang sangat penting bisa terlaksana.

Ia menegaskan, Pemkot Yogyakarta akan memberikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan program Zero Tuberculosis. Tentu, dengan sinergi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkup Pemkot Yogyakarta.

Haryo mengingatkan, penyebaran TB harus bisa dideteksi sesegera mungkin agar dapat cepat ditanggulangi. Tujuannya, agar TB di Kota Yogyakarta maupun DIY tidak menjadi semacam fenomena gunung es yang sulit terdeteksi.

"Agar TB jangan sampai menjadi pembunuh yang tidak tampak," kata Haryo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement