Kamis 28 Feb 2019 16:14 WIB

'Penting Penguatan Karakter pada Pendidikan Dasar'

Orang tua lebih khawatir kalau anak-anaknya tidak menguasai kemampuan skolastis.

Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.
Foto: Republika/Wihdan H
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budaya perkelahian antar pelajar masih saja menjadi masalah klasik. Masalah ini menjadi semakin kompleks, dimana pada  akhir-akhir ini dengan fenomena semakin beraninya siswa sekolah yang mempermalukan gurunya di kelas, lalu diajak berkelahi bahkan dianiaya hingga tewas. Tak hanya itu, bahkan ada orang tua siswa yang ikut memarahi guru dan mengajak guru berkelahi.

Fenomena pada zaman sekarang ini cukup merisaukan karena generasi inilah yang akan menentukan masa depan bangsa di masa yang akan datang. Penguatan pendidikan karakter seakan telah luntur dari dunia pendidikan

Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Hamdi Muluk mengatakan bahwa penyebab lunturnya karakter atau budaya siswa untuk menghormati gurunya sebagai orang yang mendidik mereka demi masa depannya dikarenakan kelalaian dari diri kita sendiri.  Di tingkat pendidikan dasar, orang tua lebih khawatir kalau anak-anaknya tidak cepat-cepat menguasai kemampuan skolastis seperti membaca, berhitung, matematika, bahasa Inggris, dan seterusnya dianggap tidak maju.

“Kurikulum dasar kita baik untuk tingkat PAUD,  TK dan SD saat ini sudah dijejali agar supaya anak-anak ini cepat-cepat menguasai kemampuan skolastis ini. Karena kalau tidak seperti itu tentunya orang tua merasa  khawatir kalau anaknya tidak jago kemampuan skolastik ini ada pemikiran sebagai bangsa, kita tidak maju dan tertinggal,” ujar Prof Dr Hamdi Muluk beberapa waktu lalu.

Padahal menurutnya, di tingkat pendidikan dasar yang diperlukan adalah mengajarkan Nilai-Nilai seperti Integritas yang didalamnya mengandung kejujuran, bertanggung jawab, konsisten, Nilai-nilai kemandirian, dan nilai-nilai persatuan yang mengajarkan toleransi, hormat-menghormati, sopan santun kepada yang lebih tua. 

Nah pendidikan nilai-nilai inilah sebenarnya yang akan membekali orang untuk menghadapi dunia nyata, apa yang sering juga disebut sebagai Life Skills. Nah, kalau nilai-nilai ini tertanam dengan baik, maka hasilnya adalah karakter yang kuat. Kalau karakter kuat dan sudah teratanam, baru mulai menguasai skill-skill skolastik seperti  matematika, bahasa Inggris, kimia, biologi dan sebagainya. Dan itu tentunya akan  lebih mudah,” ujarnya menjelaskan.

Karena menurutnya, orang yang berkarakter kuat tentunya tidak akan mudah menyerah, dimana orang tersebut akan selalu mencoba untuk belajar sendiri. Kalau nilai-nilai toleransi seperti homat kepada yang lebih tua, menghormnati otoritas (seperti guru), tentunya anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi dengan karakter kuat.

“Anak-anak seperti ini dikemudian hari tentu akan cepat menguasai kemamopuan akademik itu. Saya akui bahwa sistem pendidikan dasar  kita ini agak kacau. Pendidikan PAUD, TK dan SD saja lebih banyak muatan akademiknya ketimbang pendidikan nilai-nilai budi pekerti,” ujar pria kelahiran Padang Panjang, 31 Maret 1966 ini.

Dirinya memberikan contoh di luar negeri, dimana pendidikan awal seperti TK, SD lebih banyak dengan kegiatan "bermain" lewat ekperimen seperti olah raga ataupun kesenian. Dan disitu juga diselipkan pendidikan nilai-nilai seperti toleransi, sportivitas, kompetisi, hormat menghormati, persatuan dansebagainya.  “Harus seperti itu.  Bukan malah menjejali anak murid yang masih kecil-kecil ini dengan hafalan di kelas yang tentunya membosankan,” katanya.

Namun yang menjadi  masalah menurutnya pendidikan karakter yang terpadu dengan aktivitas mengembangkan kecerdasan majemuk seperti estetitka, kinetik, sosial, spiritual itu membtuhkan sarana dan prasana yang baik serta  guru-guru yang juga mengajar dengan sepenuh hati (passion), bukan sekedar lepas dari kewajban.

“Guru harus punya kewibawaan dan kompetensi yang cukup, sehingga tidak gampang diremehkan oleh murid-muridnya. Nah ini juga masalah kita, guru-guru kita kualitasnya rendah, gaji dan kehidupan eknominya juga agak morat-marit. Dengan kondisi seperti itu bagaimana dia tampil menjadi guru yang kredibel dan berwibawa di mata muridnya? Ini juga menjadi problem selama ini,” ucapnya

Permasalahan lain menurutnya juga dikarenakan lingkungan sosial, termasuk juga di rumah dan bahkan mungkin juga di sekolah yang sudah tidak punya  atau sudah luntur. “Padahal budaya melihat nilai-nilai itu lebih penting ketimbang kemampuan skolastik (akademik), Jadi kita tidak menghargai kalau nilai-nilai itu tidak dihormati, seperti orang tua atau murid yang ikut memukul guru atau ketika anaknya dimarahin guru. Nilai-nilai itu sudah luntur membuat anak-anak menjadi tidak terdidik dengan baik,” katanya.

Untuk itu dikatakannya, peran keluarga baik orang tua, kakek nenek, paman, tante dan sebagainya juga harus sadar bahwa yang lebih penting untuk diajarkan kepada anak-anak itu adalah nilai-nilai, bukan sekedar pencapaian nilai akedemis di sekolahan.

Dirinya bahkan juga menyanyangkan ada orang tua yang malah kasak kusuk mencari bocoran soal untuk dikasih ke anaknya supaya nilai anaknya bagus . “Orang tua model seperti ini juga tidak benar. Tapi sedihnya kenyataan ini justru banyak terjadi di masyarakat kita sekarang ini.  Sedih sekali, api itulah kenyataanya,” ujarnya mengamati.

Bahkan menurutnya,  pada saat ini kita krisis contoh keteladanan. Padahal anak-anak ini perlu role model yang akan dia teladani. Dan orang tua diharapkan  bisa memberikan teladan yang bagus kepada anaknya misalnya seperti tidak KKN , ucapannya bisa dipegang, hormat kepada otoritas (bangsa dan negara), tidak memaki-maki di ruang pubik, ustad berceramah tidak memaki-maki dan tidak menyebar ujaran kebencian.

“Kritis boleh tapi elegan dan santun. Jadi kita krisis contoh yang baik dari yang atas atas, krisis role model. Nah insitusi kerluarga dan sekolah menghadapi tantangan yang tidak mudah. Di tengah iklim sosial kita yang seperti ini elite politik bahkan tidak mencontohkan pendidikan nilai-nilai itu,” kata ketua Program Doktor Fakultas Psikologi UI ini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement