Kamis 28 Feb 2019 11:46 WIB

Taktik Tabrani Pakai Bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia

Tabrani dinilai berhasil memperjuangkan pemakaian bahasa Indonesia di Dewan Kota

Rep: Priyantono Oemar/ Red: Karta Raharja Ucu
Kongres Pemuda 1926
Foto:
Foto dari buku Soebagijo IN

Di Volksraad, tuntutan pemakaian bahasa Indonesia juga menggema untuk menghormati hasil Kongres Bahasa Indonesia di Solo. Di Kongres Bahasa Indonesia di Solo pada Juni 1938, Tabrani melangkah cukup jauh untuk pengembangan bahasa Indonesia. Melalui artikel Taal en Politiek (Bahasa dan Politik),  De Indische Courant edisi 6 Juli 1938 menyebut Tabrani bahkan mengusulkan agar penguasaan bahasa Indonesia dijadikan syarat pengangkatan pejabat dan pegawai.

Ia juga mengusulkan agar surat-menyurat lembaga pemerintah menggunakan bahasa Indonesia. Ia juga mengusulkan agar bahasa Indonesia digunakan di lembaga perwakilan dari Gemeenteraad hingga Volksraad.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga bahasa Indonesia yang bertugas menjalankan usulan-usulan di atas. De Indische Courant pun memberikan catatan khusus kepadanya: "Pembicara kedua, yang kata-katanya di kongres bahasa Indonesia di Solo layak mendapat perhatian khusus, adalah politisi pribumi terkenal Muh Tabrani."

Trio bintang di kongres bahasa itu adalah Muh Yamin, Tabrani, dan Sanusi Pane. Yamin bicara soal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kebudayaan dan Sanusi bicara tentang lembaga bahasa yang ia beri nama Institut Bahasa Indonesia.

"Pidato dari trio ini memiliki cap politik yang kuat, lebih kuat: mereka harus, khususnya yang dari penyair, diberi label sebagai anti-Belanda," tulis De Indische Courant. Meski belum tahu pasti ke mana arah perkembangan "gerakan bahasa" ini, tetapi De Indische Courant berani mengatakan pidato dari trio bintang kongres bahasa ini akan memiliki pengaruh luas.

photo
Laporan tentang perjuangan penggunanaan bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia juga dimuat koran Soerabaijasch Handelsblad edisi 5 Januari 1939.

Keinginan pemakaian bahasa Indonesia sebenarnya di Volksraad telah muncul pada 1935. Algemeen Handelsblad pada 29 Juni 1938 menyebutkan adanya anggota Volksraad yang menggunakan bahasa Indonesia (Algemeen Handelsblad masih menyebutnya sebagai bahasa Melayu), dan tak ada keberatan secara konstitusional.

Ditarik jauh ke Belakang usul pemakaian bahasa Melayu sudah muncul begitu Volksraad didirikan pada akhir 1916. Achmad Djajadiningrat mengajukan proposal untuk itu. Di sidang pembahasan anggaran 1939, sembilan anggota Volksraad menggunakan bahasa Indonesia. Salah satunya Jahja Datoek Kajo yang rutin menggunakannya.

Husni Thamrin dicatat secara khusus oleh Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant edisi 1 Agustus 1938 karena kekonyolannya. Meski sehari-hari menggunakan bahasa Melayu-Betawi, Thamrin harus menuliskan pidatonya dalam bahasa Belanda, baru kemudian ia terjemahkan ke bahasa Indonesia ketika hendak disampaikan di sidang Volksraad.

Tentang perdebatan perlunya pemakaian bahasa Indonesia di Volksraad, Abdoel Moeis memberikan gambaran sulitnya berbahasa Belanda di forum Volksraad sebagai bagian dari usaha mendapat izin di tahun-tahun awal Volksraad berdiri. "Ini juga berlaku untuk saya. Ketika sampai di situ, saya mungkin juga lebih suka menggunakan bahasa Melayu," kata Abdoel Moeis seperti dikutip De Sumatra Post edisi 18 Juni 1918.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement