Senin 25 Feb 2019 08:19 WIB

Bukan Untukmu Kujemput Rindu

Kalau memang ada sedikit saja rasa cinta kepadanya, belum cukupkah kamu menghukumnya?

Bukan untukmu kujemput rindu.
Foto:

Sampai di rumah sakit, aku langsung mencium kening ibuku. Beliau masih belum sadar.

"Bu, maafkan Iful," bisikku di telinganya.

Dia tidak menjawab. Namun, aku melihat air mata menetes dari matanya.

Sepekan dirawat di rumah sakit, ibuku tidak pernah sadar. Sehari sebelum Idul Adha, beliau meninggal dunia.

Aku sengaja tidak shalat Id di Masjid Al-Iman di Perumahan telaga Golf. Aku tidak mau bertemu dengan Marissa di sana.

Sejak Subuh tadi aku berangkat ke Masjid Kubah Emas di Desa Meruyung, Limo, Depok. Jaraknya hanya beberapa kilometer dari Perumahan Telaga Golf Sawangan.

Seusai shalat Id aku langsung ke makam ibuku di Kompleks Pemakaman Sawangan. Beberapa meter menjelang tiba di makam ibuku, kulihat seseorang duduk di bangku kecil di depan makam ibuku.

Dia mengenakan gamis warna putih dan kerudung putih. Aku hanya melihat punggungnya. Ketika aku makin dekat, kudengar suara isak tangis.

"Marissa?!" aku terkejut karena ternyata sosok itu adalah Marissa.

"Saiful..." Ia menyeka air matanya.

"Ibunda Saiful sudah kuanggap ibu kandungku sendiri. Aku hanya sebatang kara di sini. Ibunda Saiful tempatku mengadu. Namun, sekarang beliau pun sudah pergi menghadap Allah."

Aku tak tahu harus berkata apa.

"Saiful, bolehkah aku berterus terang? Sebetulnya aku membeli rumah di Telaga Golf bukan karena hendak kembali menyakiti hati kamu. Demi Allah, aku tidak tahu bahwa ibunda Saiful tinggal di perumahan tersebut. Aku membeli rumah tersebut untuk menolong teman yang terlilit utang. Jadi, aku meneruskan kreditnya. Terserah Saiful mau percaya atau tidak," ujarnya.

Aku hanya diam.

"Sejak jadi janda lima tahun lalu, aku tidak pernah berani berharap bahwa suatu hari Saiful akan kembali kepadaku. Meskipun hingga saat ini Saiful masih sendiri.

Luka yang aku goreskan di hati Saiful terlalu dalam dan sulit dimaafkan. Aku hanya berharap bahwa aku diizinkan untuk berbakit kepada ibunda Saiful. Semoga hal tersebut sedikit banyak menebus dosaku kepada Saiful."

Marissa mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. Sebuah amplop kecil. Ia menyerahkan benda tersebut kepadaku.

"Satu hari sebelum ibunda Saiful mengalami pembuluh darah pecah. Beliau menitipkan surat ini untuk aku kirimkan kepada Saiful. Namun, beliau terlanjur mengalami penyakit tersebut.

Aku belum sempat mengirimkan surat tersebut melalui kantor pos. Sekarang surat ini aku serahkan kepada Saiful. Berarti amanah Ibunda Saiful sudah aku tunaikan," tuturnya.

Aku langsung memasukkan surat itu ke dalam saku. Kemudian mengambil tempat di depan makam ibuku. Marissa seperti mengerti. Ia segera bergeser menjauh.

Aku mengeluarkan mushaf kecil berisi surah Yaasiin dan doa-doa. Kemudian membacakan rangkaian doa untuk almarhumah ibuku.

Mungkin aku menghabiskan waktu lebih setengah jam. Ketika aku hendak beranjak pergi, ternyata Marissa masih ada di tempat itu. Aku langsung melangkah. Tak aku pedulikan Marissa yang memanggilku, "Saiful..."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement