Ahad 24 Feb 2019 11:03 WIB

Ayah

Ayahku hangatnya selalu membangunkanku setiap pagi, menghangatkanku kala hujan

Ayah
Foto:

Aku ingat betul, pernah beberapa kali aku benar-benar menangis, membutuhkan kehadiran ayah. Seperti ketika aku kelas lima SD, saat acara perpisahan kepala sekolah dan seluruh wali murid diundang.

Teman-temanku, semua datang bersama ayahnya, sedangkan aku? Tidak ada wali murid yang datang mewakiliku. Ibu lebih memilih masuk kerja, karena kalau tidak perusahaan akan memotong uang gajinya, dan bisa-bisa ibu kehilangan jatah uang belanja tiga hari.

Di deretan kursi paling belakang, kusembunyikan mukaku di atas meja. Air mataku tumpah, ketika kupaksakan melirik ke arah teman-temanku, yang manja bergelendot di bahu-bahu besar ayah mereka. Di akhir acara, Pak Rusdi, guru kelasku, memelukku erat.

Lalu, sepanjang masa remajaku, banyak sekali hal-hal yang membuatku terus merindukan kehadiran sosok ayah.  Bahkan, sewaktu masa orientasi siswa baru ketika aku masuk SMA, aku hanya tercenung di depan kelas ketika tiba giliranku untuk menceritakan secara singkat mengenai keluarga.

Kata-kataku berubah menjadi tanda titik, ketika aku selesai bercerita mengenai ibu yang seorang pegawai adminitrasi di sebuah pabrik plastik. Hanya sosok Ibu yang aku bisa ceritakan di hadapan kelas.

Namun, aku tak pernah lelah mencari sosok ayah dalam hidupku, hingga ketika kehidupan yang sesungguhnya menempaku. Aku tak lagi mencari-cari sosok laki-laki dengan cambang kasar itu, karena aku mulai menemukan di mana ia berada.

Aku tak lagi cemburu ketika ada anak TK yang digendong ayahnya, aku tak lagi merutuk kalau Pakde Heri, tetangga sebelah rumah, asyik bermain dengan Tian, anaknya yang masih berusia tujuh tahun di depan rumah.

Sejak lulus dari bangku SMA, aku mulai samar-samar menemukan sosok ayah yang selama belasan tahun kucari-cari. Hidup menempaku menjadi seorang lelaki muda yang harus mampu menghidupi diri sendiri, serta ibu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement