Ahad 17 Feb 2019 09:53 WIB

Nilai Rasa Bahasa; ’’Kowe Sontoloyo, Cuk!’’

Sontoloyo dan Jancuk adalah ucapan makian dalam keakraban

Jancuk, antara kemesraan dan makian
Foto:

Di Indonesia sekarang, 'sontoloyo' juga dipakai dengan nada negatif. "Hati-hati, banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo," ujar Jokowi.

Pernyataan Jokowi ini mengandung nilai rasa kejengkelan, dan memang di kemudian hari diakui Jokowi. Respons pun bermunculan, menyayangkan pemakaian kata itu oleh Jokowi. Presiden Sukarno juga pernah melontarkan kata itu ketika menyebut 'Islam Sontoloyo'.

Di kehidupan sehari-hari, sontoloyo sering dipakai sebagai makian yang menunjukkan keakraban. Koran De Waarheid terbitan 1979 menurunkan cerita di Jakarta yang mengambarkan dua sahabat yang sudah lama tak  bertemu.

Suatu hari mereka bertemu di jalan tanpa sengaja di Kramat Raya, Jakarta. Yang satu mengetahui keberadaan sahabatnya terlebih dulu lalu melakukan tindakan yang mengagetkan sahabatnya. Begitu tahu, sahabat yang diberi kejutan itu memaki dengan penuh akrab, "Sontoloyo!"

Lalu mereka berjabat tangan saling lempar senyum dan melanjutkan perbincangan di warung sambil menikmati kopi tubruk. Sangat berbeda ketika makian sontoloyo dilontarkan Jokowi. Meski juga memunculkan perbincangan di kalangan politisi, tapi membuat gaduh dan saling curiga. Bahasa terbukti memiliki nilai rasa, meski sontoloyo tidak dikategorikan sebagai kata kasar di KBBI.

Makian jancuk juga memperlihatkan keakraban jika dilakukan kepada sahabat karib. Bahkan, kepada sahabat karib banyak yang menyapa cukup dengan mencantumkan cuk di akhir sapaan. "Mau ke mana, Cuk?"

Ketika jancuk dijulukkan kepada presiden, nilai rasa bahasa yang penuh keakraban dari kata itu susah dicarikan tempat di sini. Bagaimana pun, makna negatif tetap dimiliki kata yang belum dimasukkan di KBBI itu.

Selama ratusan tahun nilai rasa bahasa diabaikan oleh orang-orang Belanda yang merasa lebih tinggi posisinya dibanding posisi orang-orang Indonesia. Bahkan, ketika orang-orang Indonesia menyerap voorloper menjadi pelopor, Belanda pun mengartikan pelopor berbeda jauh dengan arti voorloper.

Oleh orang-orang Indonesia, pelopor diberi arti sama dengan voorloper, yaitu perintis, pembuka jalan. Lalu, kata itu dipakai untuk menyebut orang-orang yang memulai perjuangan melawan Belanda.

Pertemuan kata dari dua bahasa ini tak berjalan mulus. Belanda tak mau menerjemahkan pelopor menjadi voorloper dalam bahasa Belanda. Mereka menyerap pelopor menjadi plopper. Ketika orang Belanda menyebut plopper, nilai rasa bahasanya memacu semangat penumpasan.

Pelopor dimaknai negatif ketika dibelandakan menjadi plopper. Belanda memaknainya sebagai pemberontak, orang yang melawan.

"Orang lama" juga memiliki arti negatif bagi orang-orang Belanda ketika nama itu kemudian disematkan kepada minuman keras. "Orang lama" diserap ke dalam bahasa Belanda menjadi oorlam --kini hanya dikenal sebagai kata kuno untuk menyebut ransum minuman keras, jenewer, yang dibagikan kepada awak kapal Belanda.

Orang lama semula adalah sebutan untuk orang-orang Jawa yang sudah lama menjadi matros (matrozen) di kapal-kapal Belanda. Sebuah koran Belanda pada 1951 menyitir tulisan di koran yang terbit pada 1894. "De oorlam zat een vroolijk mopje te zingen.’’ Orang lama itu menyampaikan  cerita lucu.

Lalu koran itu mengomentari kata oorlam yang ada di kalimat itu. "Mungkin Anda mengernyit karena hanya tahu kata oorlam dalam arti ransum jenewer yang diberikan kepada orang-orang kapal di kesempatan tertentu."

Koran de Telegraaf pada 1937 juga menulis kata oorlam ini. Telegraaf menceritakan kapal East India Company yang mengumumkan pembagian minuman keras, yaitu jenewer. Tetapi matros muda yang melayani dianggap tak mahir, sehingga diledek: "De orang lama moeten weer voor het front verschijnen."

Harus orang lama lagi yang tampil. Matros senior dari Jawa itu disebut sebagai orang lama, lalu di kemudian hari hanya disebut sebagai oorlam. Pemendekan ini persis seperti yang dialami kata panjang seperti velocipede yang diserap dari bahasa Prancis. Dari velocipede di kemudian hari menjadi fielesepee, lalu menjadi fiesepee, lalu terakhir hanya menjadi fiets. Fiets diserap oleh orang Jawa menjadi pit, untuk menyebut sepeda.

Fiets menjadi pit merupakan gejala yang menarik pula bagi ornag-orang Belanda. Kasus ini seperti halnya telefoon menjadi telepon, kamfer menjadi kamper, koffie menjadi kopi, vakantie menjadi pakansi, voorloper menjadi pelopor, dan sebagainya.

"Dari masa muda saya di Hindia Belanda saat itu, saya ingat bahwa huruf 'v' biasanya diucapkan oleh orang-orang lokal sebagai 'p'," tulis seorang pembaca di koran NRC Handelsblaad pada 1984, membahas alasan voorloper menjadi pelopor.

Ia juga menyebut contoh lain yaitu penyebutan nama Mr van Dam, yang dipanggil sebagai "Pak Pandam". Mendengar perubahan ‘v’ menjadi ’p’ itu, pembaca itu mengatakan ingin tertawa tetapi, "Kami tidak diizinkan untuk menertawakannya."

Menurut dia, sudah dipahami bahwa tidak semua bahasa menggunakan huruf yang sama untuk kata yang memiliki arti sama. Kembali ke oorlam. Keberadaan oorlam sangat disukai matros Belanda, tetapi pada 1904 ditiadakan. Matros dimasukkan ke KBBI sebagai arti lain dari kelasi.

Orang yang menulis cerita oorlam di Telegraaf itu memulai ceritanya dengan memuji kata itu. "Ya, saya pernah mendengar kata Belanda kuno yang sangat bagus," tulis dia.

"Saya mendengarnya  dari seorang wanita yang berkata kepada seorang teman, saya tertawa tanpa sadar, karena kata Belanda itu aslinya dari orang Jawa.’’

Oorlam kini tak lagi diartikan sebagai kelasi senior, tetapi ransum jenewer yang dibagikan di kapal. Ini sama kasusnya dengan candu selain sebagai getah yang merangsang rasa kantuk dan menimbulkan ketagihan, di KBBI juga diberi arti sebagai sesuatu yang menjadi kegemaran.

Penggunaan 'ya' juga memiliki catatan sendiri di kalangan orang-orang Belanda di Jawa/Batavia di tahun 1920-an. Banyak di antara mereka yang latah menggunakan "ya", seperti orang Sunda menggunakan "teh". Teh, Teteh teh ngeteh, Teh? Contoh Sunda ini tidak pas, tetapi contoh ini sering dijadikan bahan ledekan soal kelatahan menggunakan teh.

Soal ’ya’, orang-orang Belanda terpengaruh oleh orang-orang Indonesia dalam pemakaiannya: "Babu saya, ya, adalah gadis terbaik ya, tapi bodok (bodoh) ya, dia membuatku gila, ya!" 'Ya' bahkan dicatat juga dipakai di akhir kalimat negasi seperti ini: "Aku tidak melakukannya, ya."

Pada 1956, Mario Pei telah menulis dampak pertemuan dua bahasa. Normal jika  satu dan lainnya saling mempengaruhi, ada penyatuan dan kompromi. Pei menyebut adanya pengucapan yang aneh sehingga memunculkan perbedaan ejaan yang dibiarkan begitu. Perbedaan banyak muncul di pengucapan dan kosa kata.

Ia menyebut contoh veredus dari bahasa Celtic yang berubah ejaannya menjadi pferd di Jerman dan paard di Belanda, lalu horse di Inggris. Ia juga menyebut coquina dari bahasa Latin yang berubah ejaannya menjadi kitchen di Inggris.

Pei juga mengambil contoh di Jepang mengenai perubahan pepsi cola menjadi pepusikora, good bye menjadi goombai. Demikian juga ketika chewing gum dari Inggris berubah menjadi ciuinga di Italia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement