Senin 11 Feb 2019 17:31 WIB

Jadi Wartawan; Minim Kesejahteraan, Rawan Dibungkam Penguasa

Dari zaman VOC hingga reformasi, penguasa sering membungkam kebebasan pers.

Kartu pers ilustrasi
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Kartu pers ilustrasi

Sejak JP Coen mendirikan Batavia (1619), berita-berita dari Eropa sudah dikirim ke Batavia sekali pun memerlukan waktu lama diketahui publik Batavia karena masih menggunakan kapal layar. Dalam bentuk lembaran ditulis tangan, berita yang dikirim berisi kutipan berbagai peristiwa penting di Belanda.

Pada 1712 terbit surat kabar yang berisi berita dalam negeri, berita kapal, dan semacamnya. Agar berita-berita perdagangan tidak jatuh ke tangan pesaing VOC, koran yang tidak disebutkan namanya ini dilarang terbit.

Nasib yang sama juga dialami Bataviase Nouvelles pada 1744 di Batavia. Hanya bertahan dua tahun, surat kabar ini juga ditutup atas perintah para direktur VOC yang berpusat di Belanda.

Akibat sensor makin diperketat di awal abad ke-20, pada 1903 redaktur Nieusblaad, JF Scheltema, harus mengundurkan diri setelah dihukum tiga bulan penjara karena tulisannya yang tajam mengenai sikap mendua pemerintah kolonial dalam politik candu.

Sementara Ordinansi Pengawasan Pers pada 1937 memberikan kekuasaan mutlak pada pemerintah untuk menutup penerbitan surat kabar. Meski tanpa proses hukum demi tegaknya hukum dan ketertiban.

Pada 1930-an dan selama revolusi (1945-1949), Belanda menutup beberapa surat kabar Indonesia yang terbit di daerah pendudukannya. Hal yang sama juga dilakukan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Semua penerbitan pers milik Belanda dan Cina diambil alih. Beberapa penerbitan pers Indonesia bisa berjalan di bawah pengawasan ketat.

Boleh dikata, pers mengalami kebebasan pada masa demokrasi liberal karena tidak dikenal SIT (Surat Izin Terbit) dan SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan). Tapi kemerdekaan ini tidak berlangsung lama. Apalagi setelah pada 14 Maret 1957 diberlakukan keadaan perang dan darurat perang (SOB).

Tahun 1957 merupakan tahun tindakan keras terhadap pers yang menghasilkan 125 tindakan antipers berupa penahanan, sanksi ekonomi, pemenjaraan, sanksi perizinan, kertas koran, dan berbagai tindakan lainnya. ”Tiga belas penahanan, tujuh pemenjaraan, dan 32 pembredelan menggambarkan tahun suram bagi pers di Indonesia merdeka,” tulis Edward C Smith dalam bukunya Pembredelan Pers di Indonesia.

Pada 10 Januari 1958, Pemred Indonesia Raya Mochtar lubis diangkut ke penjara militer, dan pihak berwenang hanya menyatakan tidak ada komentar (no comment). Kemudian ia dikenakan tahanan kota. Pada 10 Maret 1958 majalah Time dilarang beredar di Indonesia karena memuat berita yang dianggap menjelekkan Bung Karno.

Pada 17 Desember 1964 Bung Karno melarang keberadaan Badan Pendukung Soekarno (BPS) yang anti-komunis dan kemudian memberangus sejumlah surat kabar serta majalah yang dinilai pro-BPS. Bung Karno kemudian mewajibkan semua media massa di negeri ini setiap hari menerbitkan tulisan-tulisannya.

Pada ulang tahun ke-19 PWI, Bung Karno menyatakan, ”Saya dengan tegas menyatakan sekarang bahwa dalam suatu revolusi tidak boleh ada kebebasan pers. Hanya pers yang mendukung revolusi yang dibolehkan hidup.”

Ketika Bung Karno diturunkan, Presiden Soeharto juga melarang bahkan menangkapi para wartawan yang dinilai beraliran kiri. Mereka selama bertahun-tahun dijebloskan dalam penjara dan banyak yang di-PulauBuru-kan.

Hal yang sama juga terjadi ketika BPS dan kemudian Manikebu dibubarkan. Sekalipun tidak sampai terjadi pemenjaraan massal seperti di era Orba, tapi mereka yang dituduh Manikebu dan BPS dikucilkan dan disingkirkan dari tempat kerjanya.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement