Senin 28 Jan 2019 10:20 WIB

Jantung yang Mengikuti

Senja telah menculik Kamal, seperti senja kerap menggangu bayi-bayi dan ibu hamil

Jantung yang Mengikuti
Foto:

Tetesan bening luruh sudah di ujung mata Putroe Bunsu. Suaminya sudah tak mau peduli perihal jantung yang terus saja mengikutinya. Ia ingat Kamal putra mereka, Kamal yang hilang tak tahu rimbanya. Anehnya jantung yang berdenyut itu semakin sering mengeluarkan suara tertawa yang riang gembira. Seakan menertawakan kesialan nasib Puroe Bunsu yang kehilangan anak itu.

Pada suatu sore, kala senja hendak menjelang, jantung itu seperti memerintahkan Putroe Bunsu untuk mengikutinya masuk ke kamar Kamal. Buku-buku pelajaran anak itu tersusun rapi di atas meja kayu yang diletakkan di sudut kiri. Putroe Bunsu menghempaskan pantatnya di atas tempat tidur. Dan sebuah pintu terbuka di dalam kepalanya.

“Bu, kepala bandeng itu untukku, ya.”

“Jangan. Kepala ikan milik bapakmu.” Anak-anak tidak boleh makan ikan banyak-banyak, bisa cacingan.” Kamal menarik kembali tangan kanannya yang tadi sudah terjulur di udara untuk mengambil kepala ikan masak merah di tengah meja.

Putroe Bunsu merasakan ujung hatinya tersayat ….

“Dasar anak tak tahu diuntung. Disuruh cuci piring saja tak becus. Kau pecahkan gelas minum bapakmu,” ujar Putroe Bunsu seraya memukul betis anaknya dengan rotan berbelah delapan.

“Ampun, Bu. Aku tak sengaja,” Kamal berusaha membela diri, tapi rotan terus saja menghajar betis kecil yang memelas itu.

Bagian lain dari hati Putroe Bunsu seperti disayat sembilu ….

“Apa? Kau menghilangkan kambing jantan berbulu putih itu?” Putroe Bunsu yang waktu itu sedang memegang pelepah bunga kelapa langsung memukul Kamal dengan benda tersebut. Sebentar lagi Touke Mat Nasit akan mengambil kambing itu.

Anak kecil itu menangis memohon ampun. Lagi bagian lain dari hati Putroe Bunsu seperti diiris-iris pisau dapur...

Suara tertawaan sebongkah jantung yang kini tepat berada di depannya menyadarkan perempuan itu dari lamunan masa lalunya. “Ibu puas sekarang? Sebuah suara yang begitu ia kenal keluar dari dalam jantung.” Putroe Bunsu terkejut bukan kepalang. Ia begitu mengenal suara itu.

“Kamal, Anakku? Katakan, Nak. Di mana kau berada saat ini.”

Lagi, terdengar suara tertawaan. “Kau tidak perlu mencariku lagi, Bu.”

“Jangan bilang begitu, Anakku. Maafkan ibu. Katakan siapa yang menculikmu.” Seorang lelaki bersepatu mengilap melintas di kepala perempuan itu.

“Dulu kupikir seseorang telah menculikku, Ibu. Dan …, ternyata aku salah.” Hening, hanya isakan Putroe Bunsu semakin lirih.

“Tidak ada yang menculikku, Ibu. Aku sendiri yang menculik diriku,” lanjut suara itu pelan.

Putroe Bunsu terkejut, memandang jantung yang detaknya semakin lemah itu dengan seribu sesal dalam dada. Denyut benda itu semakin lemah, kemudian berhenti sama sekali. Dan benda sekepal genggaman tangan kiri itu pun jatuh menghantam lantai kamar.

 

Tentang Penulis

IDA FITRI lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang bekerja di Aceh Timur. Karyanya terbit di media nasional dan daerah. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Air Mata Shakespeare. Salah satu kontributor Antologi Kopi 1.550 mdpl.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement