Ahad 27 Jan 2019 17:23 WIB

Mata Merindu

Sorot mata Fajar dan Ziza adalah mata yang saling merindu.

Mata Merindu
Foto:

Sepanjang sore dan malam itu aku kepikiran Ziza terus. Ziza yang lembut. Ziza yang busananya selalu modis dan syar'i. Dia sangat pandai memadukan atasan, bawahan, dan kerudungnya. Apalagi kalau dia mengenakan overcoat warna hijau lumut atau sweter warna putih susu. Tak heran kalau dia menjadi salah seorang tokoh hijabers di Ibu Kota.

Terus terang, sejak Rindu meninggal dunia, aku menghindari untuk bertemu dan berbincang dengan dia. Kecuali kalau terpaksa dan terkait urusan dinas. Entah mengapa, setiap kali aku berbicara dengannya, dia langsung menundukkan wajahnya yang teduh. Dia hanya berkata seperlunya.

Keesokan hari, Mansur mengajak aku, Khalid dan Ziza naik Menara 99. Menara 99 atau Minaret merupakan menara tertinggi dari lima menara yang ada di Islamic Center. Sekaligus menjadi bangunan tertinggi di Kota Mataram.

Sesuai namanya, menara ini setinggi 99 meter, sebagai perlambang Asma' al-Husna atau 99 nama indah Allah SWT. Dari Menara 99 ini kita bisa memandang Kota Mataram dari ketinggian, baik saat siang maupun malam hari, Mansur menerangkan.

Kami naik lift diantar petugas Menara 99. Ziza mengenakan setelan jilbab warna biru tua. Dia kelihatan sangat anggun. Apalagi postur tubuhnya tinggi semampai. Hidungnya bangir, mirip gadis-gadis Mesir.

Berada di dalam lift, baru sekali ini aku berdiri begitu dekat dengan Ziza. Tanpa sengaja aku dan Ziza beradu pandangan. Ia langsung menunduk, aku pun langsung menunduk.

Sampai di puncak tertinggi, kami keluar dari lift. Benar kata Mansur, dari puncak Menara 99 itu kita bisa memandang Kota Mataram yang dihiasi dengan taburan masjid di berbagai titik. Begitu indah.

"Kang Fajar, bolehkah saya mengatakan sesuatu tentang Ziza?"

"Apa, Mansur?"

Sesuai saran Akang kepada saya untuk mengkhitbah Ziza, sepekan menjelang Ramadhan, saya bersama adik perempuan saya, Maryam, mengantar Ziza ke rumah orang tuanya di Cirebon.

"Selamat ya, Mansur, dan Ziza," kataku perlahan.

"Kang, sepanjang jalan aku banyak bertanya kepada Ziza tentang hubungan dia dengan keluarga Akang. Dia mengatakan bahwa dia sangat dekat dengan istri Akang, Teh Rindu. Bahkan dia mengatakan, Teh Rindu adalah tempatnya berbagi duka, terutama mengenai masalah jodohnya yang belum juga Allah berikan. Bagi Ziza, Teh Rindu bagaikan kakak yang sangat perhatian kepadanya. Teh Rindu banyak memberikan nasihat kepadanya agar sabar."

"Lalu, aku tanyakan kepada Ziza, 'bagaimana kalau Ziza menikah dengan Ustaz Fajar?'. Mula-mula ia terkejut, dan berpura-pura menolak. Tapi aku katakan kepadanya, jangan pernah menolak seorang laki-laki saleh yang datang kepadamu untuk menawarkan pernikahan."

"Aku pun bertanya kepadanya apakah dia menyimpan perasaan cinta kepada Akang? Dia menjawab dengan anggukan kepala kemudian menunduk."

Maka saya katakan kepadanya; "Baiklah, Ziza. Saya mengantar Ziza ke Cirebon untuk meminta izin orang tua Ziza, bahwa saya akan mengkhitbahkan Ziza untuk Ustaz Fajar."

"Apakah Ziza mau?" Spontan aku bertanya.

Ziza tidak langsung menjawab. Hanya butiran air mata yang meleleh di pipinya ketika itu. Kemudian dia mengangguk.

"Kang Fajar, inilah usaha saya sebagai seorang sahabat untuk Akang. Semoga Akang dan Ziza memang digariskan Tuhan untuk memintal kehidupan penuh cinta, kasih dan sayang dalam sebuah biduk bernama rumah tangga."

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement