Rabu 23 Jan 2019 15:17 WIB

Menyusuri Panti Pijat Hingga Bisnis Susu di Segitiga Emas

Kawasan segitiga emas dulu dikuasai panti pijat, peternak susu, hingga pabrik batik

Pekerja memerah susu sapi di peternakan sapi perahan di kawasan Mampang, Jakarta, Selasa (15/3).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pekerja memerah susu sapi di peternakan sapi perahan di kawasan Mampang, Jakarta, Selasa (15/3).

Nama Setiabudi, seperti dituturkan budayawan Irwan Syafe’i, punya arti tersendiri. Ketika hendak dibangun SMA 3 dan kavling-kavling (perumahan) awal tahun 1950-an, masyarakat Betawi mengikhlaskan rumahnya digusur. Mereka, oleh seorang pimpinan DKI (masih DCI/Daerah Chusus Ibu Kota) Jakarta, lantas dijuluki sebagai rakyat yang setia dan berbudi (setiabudi).

Jalan Halimun dan Jalan Kawi di Kelurahan Guntur, seperti juga daerah Kuningan lainnya, kini telah disulap menjadi hutan beton. Jalan Halimun, pada 1950-1960-an merupakan kawasan pelacuran kelas bawah di Jakarta. Sekarang ini masih ada yang mangkal di sekitar Jalan Sultan Agung, di pinggir jalan kereta api Jalan Latuharhari, bersama para waria yang mangkal hingga Subuh.

Di selatan Setiabudi terdapat kampung Karet Belakang, yang oleh warga setempat disingkat Karbela, seperti Bendungan Hilir jadi Benhil, dan Jalan Otto Iskandaridinata jadi Otista. Sedangkan Menara Imperium Kuningan yang megah dulu letaknya di Kawi Sawah, karena memang daerah persawahan.

Sedangkan Pasar Festival dan Stadion Kuningan sebelum 1970-an merupakan kuburan. Demikian pula sejumlah kantor dan perhotelan yang terletak di dekatnya, termasuk RS MMC. Pekuburan yang luasnya berhektar-hektar itu merupakan wakaf seorang Betawi yang dermawan, dan tergusur ketika dibangun Kuningan.

Seperti dituturkan H Irwan Sjafi’ie, Kali Krukut dekat Pasar Benhil dan RSAL Mintaharjo, dulu banyak buayanya. ”Ketika saya sekolah rakyat, pulangnya saya suka nimpukan buaya yang naik ke darat,” ujarnya.

Buaya-buaya itu akhirnya menyingkir akibat terpolusi oleh bahan-bahan kimia dari industri batik. Puluhan industri batik sampai 1960-an banyak terdapat di Karet Pasar Baru, Karet Tengsin, Setiabudi, bahkan hingga ke Senayan. Sebagian besar para pengusahanya warga Tionghoa, sedangkan para perajinnya ibu-ibu Betawi, yang membatik di kediaman masing-masing.

Lokasi Gedung Wanita, Departemen Kehakiman, dan puluhan gedung serta kantor pencakar langit, dulu Kampung Karet Pedurenan, yang berbatasan dengan kali dan Taman Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, yang hingga kini masih berfungsi. Dulu di belakang RS Mata Aini (Karbela) ada mata air bening yang tidak pernah kering. Mata air tersebut berada di tengah-tengah empang berukuran sekitar 15 X 10 meter.

Masyarakat setempat menggunakan empang tersebut untuk mencuci, mandi dan masak. Di dekatnya terdapat pohon bambu dan beringin hingga oleh penduduk dianggap angker. Kalau sudah Maghrib, hampir tak ada orang yang berani lewat. ”Banyak hantu dan kuntilanaknya,” kata H Irwan.

Penduduk di sekitar segitiga emas —Kuningan, Sudirman dan Gatat Subroto— di samping sebagian menjadi perajin batik, banyak pula yang berprofesi sebagai tukang sepatu dan konveksi. Sepatu Kampung Pedurenan cukup terkenal, dan menjadi langganan beberapa toko sepatu di Pasar Baru, termasuk toko Sien Lie Seng. Yang terbanyak adalah para pengusaha sapi, yang rata-rata memiliki 4-5 ekor.

photo
Pekerja memerah susu di peternakan sapi perah Jakarta, Selasa (31/1).

Setiap pagi dan sore, ratusan warga Karet Kuningan, Kuningan Timur, Karet Pedurenan, dan Setiabudi (Kampung Duku) dengan mengendari sepeda, membawa susu yang dikemas dalam botol kepada pelanggan di berbagai tempat di Jakarta, serta dijualbelikan. Peternakan susu juga sampai di daerah Duren Tiga, Mampang.

Industri tahu juga berkembang di tempat-tempat tersebut. Banyak pula yang jadi anemer (pemborong rumah). Kini rumah-rumah mereka sudah hampir tidak tersisa. Digantikan hotel berbintang, mal, apartemen, rumah sakit, wisma dan imperium.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement