Senin 21 Jan 2019 10:30 WIB

Saat Hujan Turun

Kita tidak pernah tahu rejeki itu adanya di mana.

Saat Hujan Turun
Foto:

Ika terpana di gang ketigabelas, gang terakhir, ada yang memanggilnya. Seorang ibu berbincang dengan suaminya tentang oleh-oleh ke acara saudaranya waktu Ika dan Teh Ela menghampirinya. Kata suaminya, borong saja gorengan karena tidak akan ada kesempatan lagi beli yang lain di pinggir jalan. Ika dan Teh Ela bersorak waktu pulang dengan wadah yang kosong. Hujan waktu itu tinggal gerimis.

Ingat kan sekarang? kata si bapak lagi. Saya yang berteduh menggigil kedinginan di bawah pohon kersen itu. Ika mengangguk sambil tersenyum. Dia kadang mencuri pandang sambil mengingat. Wajahnya memang seperti anak yang dulu itu. Tapi, anak itu kurus, hitam dan kotor. Sementara, si bapak selain bersih, berkemeja dan berdasi, juga badannya lebih berisi.

Dulu itu saya memang lapar. Dari pagi belum makan, main di sawah, waktu pulang hujan lebat. Tapi, tidak lama setelah peristiwa itu ibu saya pindah. Jadi saya tidak sempat mengucapkan terima kasih. Tapi saya selalu ingat. Sekarang saja saya bilang ke Ika, terima kasih....

Ika terkejut. Dia tersenyum dan mengangguk sebenarnya sambil menunggu pertanyaan tentang pekerjaan. Tapi ternyata si bapak malah panjang membahas masa kecil, masa sekitar sebelas tahun lalu. Bertanya tentang Teh Ela yang sekarang sudah berumah tangga, mempunyai seorang anak, dan tinggal di Bandung. Titip salam dan titip terima kasih buat Teh Ela. Bertanya juga sebelah mana rumah Ika di perumahan itu.

Tapi sampai azan zhuhur berkumandang tidak satu kata pun pertanyaan tentang pekerjaan. Selanjutnya, bukan menyuruh pulang, tapi malah mengajak keluar. Si ibu yang memanggil pelamar saja memandang heran. Ini masih saudara, kata si bapak sambil tersenyum.

Makan di gubuk lesehan di rumah makan Saung Nini. Sambil menunggu pesanan, shalat dulu di mushala. Ika terpana memandang makanan yang berjajar di hadapannya. Ayam goreng, pepes jamur, pepes belut, sayur asem, minumnya jus strowberi. Laparnya tiba-tiba begitu menggila.

Silakan dimakan. Ini sekadar ucapan terima kasih. Akang selalu ingat peristiwa itu. Waktu itu selain lapar, kedinginan, juga demam. Tidak sekolah tiga hari. Tapi, Akang merasa bahagia, pernah bertemu dengan Ika dan Teh Ela yang baik.

Selanjutnya makanan yang terhidang itu diserbu. Namanya Adri. Kang Adri, begitu dia ingin dipanggil. Baru tiga tahun katanya bekerja di Apotek Asri. Sama lulusan dari SMK. Tapi dipercaya oleh majikannya. Terkejut juga waktu diminta majikannya mengelola apotek baru.

Luas sebenarnya tanah apotek itu. Tapi baru depannya saja yang dibangun. Katanya, ke depannya rencana dibuka praktik dokter. Selesai makan, Ika memberanikan diri bertanya mengenai lamarannya.

Maaf Kang, saya ingin tahu mengenai lamaran saya, kata Ika malu-malu. Hari Senin sudah bisa memulai bekerja. Akang wawancara itu hanya mencari karyawan yang jujur, mau belajar dan bekerja keras. Khusus untuk Ika, Akang sudah percaya sejak dulu.

Tentu saja Ika bahagia. Tapi waktu pulang naik angkot, dia termenung. Sungguh aneh hidup ini. Peristiwa dulu, peristiwa sepele sebelas tahun lalu, peristiwa masa kecil, bisa menolong gelisah dan putus asa masa dewasa.

Yang terbayang hanya kata-kata Umi yang suka ditiru Teh Ela: Bila kita baik ke orang lain, artinya bukan sekadar baik ke orang lain, tapi yang utama sebenarnya baik ke diri kita sendiri. Terima kasih Umi, Teh Ela, gumam Ika sambil mengusap matanya yang terasa panas.

Tentang Penulis:

PELANGI PAGI hobi menulis sejak SD. Namun, baru beberapa tahun belakangan ini berani mengirimkan karyanya (cerpen, puisi, cerita anak) ke media massa. Belajar dari buku-buku dan ceramah para pengarang. Di antara karyanya sudah dimuat di Indo Pos, Solo Pos, Suara Karya, Nova, Pikiran Rakyat, Banjarmasin Pos, Jembia, dan sebagainya.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement