Jumat 18 Jan 2019 18:27 WIB

Muhammadiyah-NU Berperan Wujudkan Perdamaian dan Demokrasi

Kedua lembaga itu disebut cukup layak mendapat Nobel.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Peluncuran buku dan seminar Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam Perdamaian dan Demokrasi di Ruang Mulitmedia Universitas Gadjah Mada (UGM).
Foto: Wahyu Suryana
Peluncuran buku dan seminar Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam Perdamaian dan Demokrasi di Ruang Mulitmedia Universitas Gadjah Mada (UGM).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Posisi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia memang tidak terbantahkan lagi. Tapi, banyak orang yang lupa kalau dua organisasi Islam terbesar dunia itu berperan besar dalam terwujudnya perdamaian dan demokrasi di Indonesia.

Penulis buku Dua Menyemai Damai, Muhammad Najid Azca mengatakan, buku dikerjakan lima peneliti bersama Hairus Slaim, Zaki Arrobi, Budi Asyhari, dan Ali Usman. Proses penelitian terbilang cepat.

Latar belakang penelitian dilakukan atas kepedulian dan keresahan mereka soal citra keagamaan yang mengalami stagnansi. Belakangan, ia merasa narasi politik yang kerap bernada konflik malah jadi dominan.

"Kadang kita lupa kita punya kekayaan, padahal Indonesia dikenal sebagai the smilling face of Islam in the world," kata Najib di Ruang Multimedia Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Ia menekankan, terdapat tiga poin penting yang dijadikan cakupan utama buku Dua Menyemai Damai. Pertama, Muhammadiyah dan NU merupakan kunci sukses terjadinya proses transisi demokrasi di Indonesia.

Kedua, Muhammadiyah dan NU jadi kekuatan penting pilar konsolidasi demokrasi. Dan ketiga, Muhammadiyah dan NU turut aktif berkiprah dalam proses bina damai di aras nasional, regional, dan internasional.

"Jadi, apa yang kita kumpulkan dari Muhammadiyah dan NU luar biasa, tanpa kehadiran Muhammadiyah dan NU saya rasa proses demokrasi kita tidak akan berjalan dengan baik," ujar Najib.

Peneliti antropologi Boston University, Robert W Hefner menilai, peran besar Muhammadiyah dan NU yang selama ini terabaikan di luar negeri mulai diperhatikan. Bahkan, kedua lembaga disebut cukup layak mendapat Nobel.

Selain Muhammadiyah dan NU, ia melihat, Indonesia sendiri mulai dikenali di dunia internasional. Tidak cuma bidang pendidikan dan kebangsaan, tokoh-tokoh Indonesia mulai banyak diakui dunia internasional.

"Yang selama ini orang meragukan adanya peradaban Islam, kini internasional mulai memperhatikan itu, jadi saya rasa peluncuran buku (Dua Menyemai Damai) ini sangat tepat," kata Robert.

Ia merasa, Indonesia tidak cuma negara paling demokrasi secara nyata di Asia Tenggara, tapi di Asia. Bahkan, Indonesia disebut negara paling demokrasi di negara-negara dunia ketiga (nonblok).

Beum lagi, Robert mengaku prihatin, hari ini demokrasi di AS, sebagai ibunya demokrasi, tengah terguncang. Ia berpendapat, tingkat kepercayaan di AS atas demokrasi justru tidak sebaik Indonesia hari ini.

Bagi Robert, level itu merupakan buah yang telah diperjuangkan Muhamamdiyah dan NU. Selain itu, reformasi pendidikan Islam yang diimpikan dari sebagian besar Muslim dunia, sudah kedua lembaga itu lahirkan di Indonesia sejak lama.

"Muhammadiyah dan NU telah membuktikan Islam memang rahmatan lil alamin, sebuah blessing for the world," ujar Robert.

Terkait buku Dua Menyemai Damai, peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Mohtar Masoed menilai, buku itu sangat baik mendukung usaha hadirkan pengakuan dunia atas terhadap karya-karya Muhammadiyah dan NU.

Buku itu cukup banyak berkisah tentang praktek meyakinkan kedua jam'iyah dalam memupuk peradaban dan menyemai bibit-bibit perdamaian. Namun, cerita bina damai yang dilakukan kedua organisasi ini kurang meyakinkan.

Masalahnya, dunia sedang berubah. Akibat berbagai perkembangan sosial maupun teknikal, suasana hati banyak masyarakat dunia sedang gundah, tidak senang dengan orde yang berlaku. Banyak pula kecurigaan satu sama lain muncul.

"Untuk itu, kita perlu menunjukkan kapasitas behavioral dan institusional NU plus Muhammadiyah apakah mereka punya kapasitas untuk menangani tantangan baru itu," kata Mohtar.

Saat ini, apa yang dikeluarkan pemimpin-pemimpin dunia sendiri terus dipenuhi kemarahan. Karenanya, Mohtar menekankan, semua elemen harus mempelajari apa yang membuat kemarahan muncul pula di Indonesia.

Jangan lupa pula politisasi agama dengan kekerasan telah terjadi di Indonesia, dan tidak bisa diselesaikan sekadar mengatakan pelakunya minoritas. Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir, yang minoritas itu lebih sering berinisiatif.

"Kita sering menyepelekan ini dan itu tidak boleh, jadi tidak bisa tidak, kita mesti belajar tentang fenomena baru ini," ujar Mohtar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement