Senin 17 Dec 2018 11:07 WIB

Rektor UAI: Indikator SKS Harus Berbasis Kedalaman Materi

pembelajaran di pendidikan tinggi masih terlalu berbasis kuantitas bukan kualitas.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Mahasiswa sedang belajar di kampus.
Foto: dok Republika
Mahasiswa sedang belajar di kampus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Prof Asep Saefuddin menilai pemangkasan Satuan Kredit Semester (SKS) untuk program sarjana dan diploma dinilai mendesak. Karena selama ini menurut dia, pembelajaran di pendidikan tinggi masih terlalu berbasis kuantitas bukan kualitas.

"Sehingga indikatornya sering berbasis pada jumlah, bukan kedalaman. Di negara-negara maju seperti USA, Kanada, Jepang, Perancis SKS S1 sekitar 128 sampai 130. Tetapi kedalaman untuk menguasai mata kuliah luar biasa beratnya," kata Asep saat dihubungi Republika, Senin (17/12).

Asep menuturkan di negara maju untuk satu mata kuliah 3 SKS diberikan 3×50 menit atau 3 kali pertemuan dalam satu minggu, bukan 150 menit dalam satu kali pertemuan. Dengan 3 kali bertemu, mahasiswa bisa mengendapkan dulu materi-materi kuliah sebelum pertemuan ketiga.

Selain itu perkuliahan di negara maju juga  mendapat responsi atau pendalaman sekitar 3 jam per minggu. Lalu pada pertemuan ketiga pun dosen wajib memberikan PR (assignment) yang harus dikumpulkan biasanya 1 minggu berikutnya. Sehingga, umumnya satu mata kuliah 3 SKS mahasiswa harus mengerjakan PR sebanyak 10-13 PR. Materi pendalaman biasanya membahas PR atau hal-hal yang belum dipahami mahasiswa.

"Jadi bayangkan saja bila mahasiswa mengambil 12 SKS atau 4 mata kuliah, mereka akan membuat PR sebanyak 40-52 buah. Artinya kesibukan mereka untuk 12 SKS saja sudah sangat padat. Di Indonesia, 20 SKS masih tenang-tenang saja. Berarti materi tidak diberikan secara mendalam," kata Asep.

Menurut Asep dalam Undang-undang Dikti secara eksplistis tidak dijelaskan jumlah SKS. Karena dia mengusulkan beberapa hal yang bisa dipadatkan terkait rencana pemangkasan SKS, seperti memangkas mata kuliah yang tumpang tindih baik di level universitas (mata kuliah umum) atau di level fakutas/prodi.

Kemudian, menurut dia juga tidak perlu ada mata kuliah berjudul Pengantar (introduction) dan materi pengantar cukup diberikan dalam satu kali pertemuan di awal. Selain itu untuk Mata kuliah kewargaan negara (PPKN) juga tidak perlu ada dan diganti dengan Mata Kuliah Pancasila yg di dlmnya ada materi PPKN tersebut.

"Mata kuliah Bahasa Indonesia juga bisa dihilangkan, tetapi materi bahasa Indonesia masuk ke dalam mata kuliah Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah," ungkap Asep.

Adapun untuk Mata Kuliah Agama bisa disisipkan ke dalam mata kuliag Pancasila. Jadi pelajaran agama yang sifatnya etika dan moral secara inklusif. Atau di beberapa universitas materi Agama dimasukkan ke dalam Mata Kuliah Universitas seperti integrasi ilmu dan agama.

Sebelumnya Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mewacanakan untuk memangkas jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) pada jenjang sarjana (S1) dan diploma. Namun berapa jumlah SKS yang akan dipangkas masih dikaji oleh pihak Kemenristekdikti.

Menristekdikti Mohammad Nasir mengatakan, saat ini bobot SKS untuk S1 mencapai 144 SKS dan diploma mencapai 120 SKS. Jumlah SKS tersebut dinilai terlalu berat,menghambat kreativitas mahasiswa, dan juga membebani pembiayaan.

"Saya kira untuk S1 jadi maksimal 120 SKS, dan D3 90 SKS itu sudah cukup," kata Nasir di Jakarta beberapa waktu lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement