Sabtu 08 Dec 2018 13:59 WIB

Solidaritas Penyintas Kecewa Atas Pernyataan UGM

Kekecewaan itu lantaran rektorat UGM belum menyatakan kasus Agni sebagai pemerkosaan

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Esthi Maharani
Aksi solidaritas rekan-rekan penyintas kasus dugaan pelecehan seksual di Ruang Sidang Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (7/12).
Foto: Wahyu Suryana / Republika
Aksi solidaritas rekan-rekan penyintas kasus dugaan pelecehan seksual di Ruang Sidang Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (7/12).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Juru bicara solidaritas penyintas kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM) atau #KitaAgni, Cornelia Natasya, mengungkapkan kekecewaan atas pernyataan UGM. Pernyataan itu merupakan jawaban atas tuntutan rekan-rekan penyintas.

"Kecewa, sangat kecewa sih," kata Tasya, Jumat (7/12).

Kekecewaan itu lantaran rektorat UGM masih belum menyatakan kasus ini sebagai pemerkosaan, utamanya lewat istilah-istilah terduga. Padahal, lanjut Tasya, UGM sendiri sudah membenarkan kalau kejadian itu merupakan pelecehan seksual.

Selain itu, rektorat UGM mengaku masih melakukan penyelidikan terkait apakah kejadian ini masuk pelanggaran berat. Menurut Tasya, pernyataan-pernyataan itu tidak masuk akal.

Padahal, ia menekankan, tuntutan hari ini hanya dua poin. Pertama, pengakuan kalau pelecehan dan perkosaan adalah kekerasan seksual, dan kekerasan seksual adalah pelanggaran berat.

"Tapi lagi-lagi, kasus Agni ditolak untuk bahkan diakui sebagai pelecehan seksual yang pelanggaran berat," ujar Tasya.

Ia juga kecewa rektorat masih menunggu rekomendasi tim etik, yang masih menunggu temuan-temuan tim investigasi. Terlebih, Tasya merasa, sebelum ini sudah ada rekomendasi-rekomendasi yang tidak dijalankan rektorat.

Artinya, rektorat sudah mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, tapi malah menunggu lagi rekomendasi-rekomendasi lanjutan. Karenanya, Tasya mempertanyakan alasan universitas menunda-nunda semua langkah yang seharusnya sudah dilakukan.

"Kenapa selalu ditunda-tunda, apa yang sebenarnya sedang ditutup-tutupi UGM, bukankah tidak harus selalu menunggu tim etik untuk melakukan tanggung jawab rektorat," kata Tasya.

Meski begitu, ia mengaku tetap tidak akan mendorong penyintas melaporkan kasus ini ke Polisi. Sebab, Tasya berpendapat, Undang-Undang yang ada di Indonesia saat ini tidak cukup siap untuk kasus-kasus kekerasan seksual.

Buktinya, lanjut Tasya, sekarang ada gerakan untuk mendukung RUU penghapusan kasus kekerasan seksual. Artinya, hukum Indonesia tidak memiliki sensitivitas terhadap kasus kekerasan seksual.

Soal dukungan elemen-elemen eksternal seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau Ombudsman, ia tetap merasa tidak cukup yakin membawa kasus ini ke Polisi. Terlebih, melihat bagaimana kasus ini bergulir.

Misalnya, ketika UGM secara institusi tidak memfasilitasi kebutuhan visum dan lain-lain saat mengetahui kejadian tersebut. Itu yang membuatnya melihat titik lemah penanganan kasus-kasus seperti itu.

"Jadi kalau kita makin mendorong ke sana padahal itu kelalaian rektorat yang tidak langsung merespon ketika dilapori itu, kemudian yang akan kembali dikalahkan penyintas, dan ini jadi manuver rektorat untuk mencuci tangan," ujar Tasya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement