Saturday, 11 Syawwal 1445 / 20 April 2024

Saturday, 11 Syawwal 1445 / 20 April 2024

Indonesia Dinilai Belum Siap Terapkan Pemilu Langsung

Ahad 02 Dec 2018 13:16 WIB

Red: Dwi Murdaningsih

Ilustrasi Politik Uang

Ilustrasi Politik Uang

Foto: Foto : MgRol_94
Masih banyak 'serangan fajar' untuk pemilu di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Mahyudin menilai tingkat perekonomian Indonesia saat ini belum sepenuhnya siap dalam pemberlakuan demokrasi langsung. Sebab, kata dia, demokrasi langsung membutuhkan masyarakat yang sejahtera sehingga tidak mudah untuk disuap.

"Jujur menurut pandangan saya bangsa kita tidak 100 persen siap untuk demokrasi secara langsung," kata dia, Ahad (2/12) dalam sosialisasi empat pilar MPR di hadapan Himpunan Wanita Karya di Balikpapan.

Dia mengatakan demokrasi langsung lebih efektif di negara-negara maju yang berpendapatan perkapitanya di atas 11 ribu dolar AS. Sementara, Indonesia baru 3.500 dolar AS perkapitanya.

"Jadi masih ada daerah-daerah yang masih tega memasang spanduk siap menerima serangan fajar," katanya.

Namun demikian, kata dia, demokrasi secara langsung telah diterapkan. Untuk itu, ia menghimbau masyarakat untuk menolak politik uang karena akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara.menegaskan politik uang menjadi sumber masalah bagi demokrasi. Menurut dia, politik uang menjadi lahan subur korupsi.

Dia mengatakan akibat politik uang, orang-orang baik yang memiliki kemampuan dan integritas untuk membangun bangsa terhalangi. Alhasil, kekuasaan diduduki oleh orang-orang yang punya uang.

"Mereka yang berkuasa karena menyuap rakyat dipastikan berkeinginan untuk mengembalikan modalnya," katanya.

Menurut dia, tidak heran bila saat ini banyak pejabat publik, baik kepala daerah, anggota parlemen di daerah maupun di pusat yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), katanya. Selain itu, para politisi yang menggunakan uang untuk dipilih dipastikan tidak memiliki integritas dalam membangun masyarakat dan bangsanya.

Bila seseorang ingin berkuasa dengan menyuap rakyatnya untuk dipilih, maka diyakini saat berkuasa dia juga dipastikan akan mudah dan mau menerima suap. "Akibatnya terjadi 'kapitalisasi' kebijakan. Kebijakan tidak berpihak kepada rakyat, tetapi kepada mereka yang menyuap, sehingga pembangunan masyarakat diabaikan," katanya.

Sumber : antara
  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler