Selasa 20 Nov 2018 05:01 WIB

Keturunan Nabi, Orang Arab: Penyebaran Islam di Indonesia

Para keturunan nabi menyebar di Indonesia dan banyak menjadi tokoh elit.

Peristiwa Sumpah Pemuda Keturuanan Arab pada tahun 1930-an.
Foto:
Peristiwa Sumpah Pemuda Keturuanan Arab pada tahun 1930-an.

Koloni Arab di Cirebon dan Tegal

Seperti juga di Batavia, wilayah yang dihuni orang Arab, di Cirebon, semula wilayah orang Benggali dan merekalah yang membangun masjid yang sekarang dikenal sebagai "Masjid Arab". Bangunannya cukup luas, tapi kurang terpelihara, seperti juga keadaan seluruh wilayah Arab. Jarang sekali ditemukan rumah-rumah yang cantik.

Koloni Arab di Cirebon hidup miskin. Satu-satunya orang Arab yang menjadi grosir di kota itu malah bangkrut. Di sepanjang jalan yang tampak hanyalah deretan toko-toko kecil, yang kotor dan tak lengkap isinya, dan tak satu pun menunjukkan kemakmuran pemiliknya, seperti yang terlihat di Pecinan.

Di antara koloni Arab yang besar di nusantara, koloni Arab Tegal adalah yang terbaru. Sebelumnya, hanya terdapat satu-dua keluarga dan kadang-kadang ada yang mampir sebentar di sana. Kepala koloni yang pertama diangkat pada 1883. Sejak zaman itu, jumlah orang Arab yang sebagian besar anggota suku Nahd, Kasir, dan Yafi, terus meningkat. Dan, sebagian wilayah Arab di Tegal setelah adanya imigrasi itu benar-benar menjadi padat.

Sejumlah rumah di Koloni Arab di Tegal ditinggali dua sampai tiga orang keluarga. Toko sangat sedikit, sebagian besar di antara orang Arab tinggal di gubuk yang dikelilingi kebun sayur dan hampir semuanya terkesan kotor dan miskin.

“Koloni Arab di Tegal tampaknya lebih sedikit melaksanakan ibadah Islam dibandingkan koloni-koloni Arab yang lain yang pernah saya kunjungi. Hal ini tidak mengherankan mengingat asal usul mereka. Jarang ada orang Arab yang turut berjamaah di masjid pribumi, sementara dunia ilmu, tak seorang pun (di antara mereka--Red) meminatinya,’’ kata Berg.

Para Sayid dan Koloni Arab Pekalongan yang Makmur

Koloni Arab di Pekalongan sangat berbeda cirinya (dengan koloni Arab di Tegal--Red). Orang-orang Arab yang pertama menetap di sini datang pada awal abad ke-19. Sebagian besar adalah golongan "Sayid" yang kawin dengan anak perempuan para pemimpin pribumi dan merupakan inti dari koloni besar yang ada. Mereka adalah keturunan sayid dan anggota keluarga sayid yang datang dari Hadramaut.

Mereka membentuk mayoritas penduduk Arab di Pekalongan. Anggota suku hampir tidak ada dan tampaknya dapat dikatakan sedikit sekali pendatang dari Hadramaut yang bermukim di sini. Meskipun di wilayah mereka beberapa rumah tidak berpenghuni, sebagian besar Arab di Pekalongan jelas hidup makmur. Tidak demikian halnya dengan campuran Arab yang tinggal di luar wilayah Arab. Mereka menetap di daerah pinggiran, seperti Ledok, Mpipitan, Kauman, dan Krapyak. Mereka sangat menjaga jarak denga orang Arab yang datang dari Hadramaut dan orang campuran yang masih mempertahankan ciri Arabnya.

Orang campuran Arab yang tinggal di daerah baru tersebut sama sekali tidak bisa berbahasa Arab. Mereka selama beberapa generasi tinggal di antara penduduk pribumi di rumah papan atau bambu, mencari nafkah seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan mengikuti adat istiadat mereka. Tak seorang pun di antara mereka berdagang. Di wilayah ini terdapat masjid kecil untuk bersembahyang sehari-hari.

Dan, meskipun tidak terdapat cendekiawan profesional di antara orang Arab pekalongan, hampir semua mereka cukup kaya, memperhatikan pendidikan jiwa. Di dalam sejumlah rumah ditemukan naskah dan buku yang tidak hanya dicetak dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa Eropa, misalnya, yang disusun oleh S de Sacy dan diterbitkan sejak 1838. Koloni Arab di Pekalongan memiliki kepala yang diangkat oleh pemerintah.

Kisah lain tentang koloni Arab dengan para Sayid-nya berlanjut di Gresik dan Surabaya. Bagian Pulau Jawa tempat orang Arab mendirikan koloninya yang pertama ini adalah di mulut selat Madura. Bersama dengan Gresik, koloni Arab tersebut sudah lama ada semenjak abad XV. Untuk yang di Gresik, koloni Arab yang berada di situ mencapai puncak kebesarannya pada 1846. Dan, koloni Arab di Gresik ini sudah punya kepala koloni Arab sejak 1832.

Beda dengan Gresik yang kemudian mengalami kemunduran, koloni Arab di Surabaya malah sangat berkembang. Dalam lima belas tahun terakhir, populasinya berlipat dua. Di sini dijumpai orang Arab dari segala tempat di Hadramaut dan dari berbagai keluarga. Banyak di antaranya golongan sayid. Koloni Arab Surabaya ini dianggap sebagai pusat semua koloni di Jawa bagian timur. Koloni Arab lain berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki, dan Banyuwangi.

Wilayah Arab Surabaya terletak di bagian timur laut kota. Jalan-jalannya kebanyakan kotor, sempit, dan rusak. Di sana dijumpai banyak toko dan sejumlah rumah yang kokoh dan terawat baik. Terdapat tujuh masjid untuk bersembahyang dan masjid besar Ampel untuk shalat Jumat. Yang terakhir ini adalah masjid yang luas dan cantik di Nusantara. Meskipun masjid itu diurus oleh penjaga pribumi, sebagian besar jamaahnya adalah orang Arab.

Pada 1832, koloni Arab di Surabaya memperoleh kepala koloni yang sebangsa dengan mereka. Keturunan campuran Arab di Surabaya merupakan koloni yang masih mempertahankan identitas Arabnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement