Senin 12 Nov 2018 14:03 WIB

Perang Dunia I, Jihad Made in Eropa

Propaganda jihad Eropa mencabik-cabik dunia Islam.

Prajurit Muslim Inggris tengah melaksanakan shalat di tengah medan PD I
Foto: ITV
Prajurit Muslim Inggris tengah melaksanakan shalat di tengah medan PD I

Artikel-artikel yang mendorong jihad melawan Inggris-Prancis diterbitkan para orientalis Jerman. Di Zossen, Jerman, didirikan kamp bagi prajurit-prajurit Muslim dari Afrika Utara untuk mengesankan keberpihakan Jerman pada umat Islam. Dan yang utama, Jerman melakukan pendekatan ekonomi dan militer besar-besaran kepada Turki Utsmani.

photo
Sultan Mahmud V.

Rencana itu akhirnya mendapat angin segar saat kaum unionis yang diwakili Komite Persatuan dan Kemajuan (CUP) menguasai Turki, menempatkan Sultan Mahmud V di singgasana, dan memutuskan persekutuan lama Turki dengan Inggris dan Prancis. Akhirnya, pada Agustus 1914 Jerman berhasil menyegel aliansi Mahmud V dan memicu sejumlah insiden yang mendorong kerajaan itu akhirnya terjun secara resmi dalam Perang Dunia I.

Sementara, di sisi lain, Prancis dan Inggris juga memanfaatkan Muslim dalam Perang Dunia I. Berbagai dokumen mencatat, sejak mula perang, Prancis telah merekrut sekitar 170 ribu pasukan Muslim dari wilayah jajahan mereka di Maroko, Tunisia, dan Aljazair. Dari jumlah itu, pada akhir perang, sedikitnya 36 ribu gugur.

Sementara, Luc Ferrier dalam bukunya The Unknown Fallen (2018) menuliskan sebanyak 400 ribu Muslim dari wilayah jajahan Inggris di Asia Selatan juga ikut berperang. Ia mencatat, sedikitnya 2,5 juta pasukan Muslim berperang pada sisi sekutu Inggris-Prancis-Rusia dalam Perang Dunia I.

Seruan jihad dari Turki sempat memicu keengganan berperang pada pasukan Muslim yang harus menghadapi saudara-saudara seagama mereka. Kendati demikian, seperti disinggung dalam dokumenter Aljazirah “World War I Trough Arab Eyes”, keengganan tersebut kerap diredam dengan hukuman mati bagi prajurit yang membelot.

photo
Pertemuan pertama antara Raja Arab Saudi Abdul Aziz bin Saud dan Presiden Amerika Franklin D Roosevelt pada musim semi 1945 di kapal USS Quincy di Terusan Suez di Mesir (Foto: SPA)

Sementara Jerman melancarkan propaganda jihad mereka, Inggris menggagas agenda mereka sendiri di Hijaz. Dokumen-dokumen sejarah mencatatkan bagaimana Kerajaan Inggris secara aktif mendorong penguasa-penguasa lokal di wilayah Hijaz dan Najd (wilayah Arab Saudi saat ini) untuk memberontak melawan kekuasaan Turki Utsmani.

Bahkan, sejak 1 November 1914, sebelum Turki Utsmani secara resmi terlibat dalam Perang Dunia I, Konsulat Jenderal Inggris untuk Mesir Herbert Kitchener telah mengirimkan surat kepada Sarif Makkah Hussein bin Ali menjanjikan kemerdekaan wilayah itu jika mereka membantu melawan Turki Utsmani. Inggris juga mengirimkan dana dan persenjataan serta agen-agennya, seperti TE Lawrence dan Gertrude Bell untuk mendorong Revolusi Arab melawan Turki Utsmani.

Selain dengan Hussein bin Ali, Inggris juga membuat perjanjian dengan Bani Saud yang berkuasa di Najd pada 25 Desember 1915. Kesepakatan antara Sir Percy Cox, perwakilan Inggris di Timur Tengah; dengan Abdul Aziz bin Saud itu menjanjikan penyerahan wilayah Kuwait, Qatar, dan Tenggara Teluk Persia kepada Bani Saud dengan syarat mereka tak menganggu wilayah Syarif Makkah. Perjanjian yang diteken di Darin, Pulau Tarut, itu juga menyegel kesediaan Bani Saud terlibat dalam Perang Dunia I melawan Turki Utsmani di Timur Tengah.

Pada akhirnya Kesultanan Turki Utsmani yang sedianya sudah lemah sebelum Perang Dunia I serta Kekaisaran Jerman dan sekutu mereka kalah perang. Genjatan senjata global diteken pada 11 November 1918, tepat seratus tahun lalu. Gencatan senjata yang diperingati secara meluas di negara-negara Barat kemarin untuk sementara mengakhiri perang. Kendati demikian, bagi Dunia Islam, ia adalah awal dari konflik berkepanjangan.

photo
Prajurit Ottoman.
Wilayah-wilayah di Timur Tengah dibagi-bagi para pemenang perang dengan batas-batas yang ditarik serampangan. Kekhalifahan Turki Utsmani yang menurut Richard Hooker dalam bukunya The Ottomans (1996), berhasil menegakkan semacam stabilitas di Timur Tengah, dibubarkan. Menimbulkan kekosongan kekuasaan yang memunculkan perebutan wilayah seturut sentimen-sentimen primordial dan kepentingan negara-negara kolonialis.

Sementara, pada 1917 seturut ketakutan bahwa kaum Yahudi di Amerika Serikat akan merayu negara tersebut berpihak ke Jerman pada Perang Dunia I, Inggris menerbitkan Deklarasi Balfour yang menjanjikan pendirian negara Israel di Palestina. Deklarasi yang terus diingat dengan nelangsa warga Palestina yang masih terjajah dan terusir dari tanah mereka hingga kini.

Di Eropa, Perang Dunia I punya julukan “Perang untuk Mengakhiri Semua Perang”. Namun, untuk Dunia Islam, perang itu justru memicu banyak perang lainnya di masa datang. David Fromkin menuliskan pada 1989, justru perdamaian yang disepakati pada saat-saat itulah akhir dari segala kedamaian di Timur Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement