Senin 12 Nov 2018 14:03 WIB

Perang Dunia I, Jihad Made in Eropa

Propaganda jihad Eropa mencabik-cabik dunia Islam.

Prajurit Muslim Inggris tengah melaksanakan shalat di tengah medan PD I
Foto: ITV
Prajurit Muslim Inggris tengah melaksanakan shalat di tengah medan PD I

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami

Pada hari-hari seperti ini, 13 November tepat 104 tahun yang lalu, ada pengumuman bersejarah di Konstantinopel. Saat itu, Sultan Mahmud V menyelenggarakan sebuah acara resmi, mengundang para ulama di Turki Utsmani serta menampilkan relik peninggalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Secara resmi, Sultan Mahmud V mengumumkan deklarasi “jihad”, mewajibkan Muslim sedunia angkat senjata melawan sekutu Inggris-Prancis-Rusia. Pada titik itu Islam secara de jure ditarik terlibat dalam Perang Dunia I. Muslim akan dihadap-hadapkan dengan Muslim lainnya dalam perang yang bakal mencabik-cabik wilayah Timur Tengah dan mewariskan konflik yang lestari hingga kini.

Hingga saat itu, Perang Dunia I adalah urusan bangsa-bangsa Eropa semata. Dipicu pembunuhan dan konflik di Balkan, negara-negara Eropa terbagi dalam dua sekutu besar Inggris-Prancis-Rusia melawan Jerman-Austria/Hungaria-Italia. Kekuatan-kekuatan kolonialis yang sejak abad ke-17 sudah terlibat perebutan wilayah-wilayah koloni.

photo
Tentara Jerman di Ypres Silent, Belgia, pada Perang Dunia 1.

Apa yang memicu keterlibatan Turki Utsmani dan deklarasi jihad tersebut? Apakah ia memang gerakan religius, atau tindakan yang lebih pragmatis?

Pada 1915 setahun selepas deklarasi, orientalis terkemuka Snouck Hurgronje sudah menerbitkan kesimpulannya bahwa panggilan jihad saat itu sedianya bukan murni inisiasi Kesultanan Turki Utsmani. Ia bahkan memberikan judul yang gamblang terkait analisisnya: Jihad Buatan Jerman.

Hurgronje berpandangan, konsep perang suci di dunia Islam saat itu sedianya sudah mulai luntur. Terpecah-pecahnya kawasan yang sempat dikuasai kerajaan-kerajaan Islam oleh kolonialisme Eropa membuat Muslim dalam posisi harus saling berhadapan dan melemahkan semangat jihad global.

Revolusi kaum liberal/nasionalis Young Turks di Turki pada 1908 sedianya membuka jalan pemisahan agama dan politik. Kendati demikian, menurut Hurgronje, Eropa tak bisa tinggal diam dengan keadaan tersebut.

photo
Christiaan Snouck Hurgronje
“Kekuatan-kekuatan Eropa memastikan bahwa ide perang suci tak boleh dilupakan. Turki secara terus-menerus dipaksa melakukan jihad,” tulis Hurgronje dalam artikelnya.

Jerman sudah mulai menimbang penggunaan sentimen jihad untuk keuntungan mereka sejak akhir abad ke-19. Saat itu, menurut guru besar hubungan internasional di Universitas Bilkent di Turki, Sean McMeekin, dalam bukunya The Berlin-Baghdad Express (2010), Kaiser Wilhelm II tergoda dengan potensi memanfaatkan Turki selepas mengunjungi Sultan Abdul Hamid II.

Menurut Eugene Rogan dalam bukunya The Fall of the Ottomans (2014), ide itu dikentalkan orientalis dan diplomat Jerman Max von Oppenheim. Menjelang dan pada awal Perang Dunia I, Oppenheim secara gencar memimpin propaganda untuk memanfaatkan konsep jihad melawan kekuatan Inggris dan Prancis.

Rogan menuliskan, Oppenheim meyakinkan Wilhelm II bahwa Islam adalah senjata rahasia Jerman. Oppenheim juga meyakini kampanye propaganda yang sistematis dan tertata rapi akan mendorong komunitas Muslim melakukan pemberontakan di wilayah yang dikuasai Inggris dan Prancis di India, Afrika Barat dan Utara, serta Indocina dan Asia Tenggara.

photo
Prajurit Muslim Inggris tengah melaksanakan shalat di tengah medan PD I

Baca halaman selanjutnya >

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement