Menyatukan kekuatan
Untuk menyatukan kekuatan, ormas-ormas Islam arus besar kemudian membentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). KH Zainal Mustafa merupakan yang turut aktif di MIAI. Dia kerap berceramah sambil mengecam keras campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan umat Islam. Pada 17 November 1941, dia ditangkap pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian, dia menjalani masa tahanan di Penjara Sukamiskin, Bandung, selama 53 hari. Dengan datangnya balatentara Jepang, pada 31 Maret 1942 KH Zaenal Mustafa dilepaskan.
Namun, sikapnya ke Jepang tidak kurang kerasnya. Puncak dari konfrontasi itu terjadi pada Jumat, 25 Februari 1944. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai Pertempuran Singaparna. Itulah kali pertama perlawanan terjadi terhadap pemerintah pendudukan Jepang di Jawa.
Sesudah Indonesia merdeka, kalangan santri semakin merapatkan barisan untuk membela Tanah Air. Belanda dengan sikap jemawa membonceng kekuatan militer Sekutu yang semata-mata hendak memulihkan para tawanan Perang Asia Timur Raya yang masih ada di Indonesia.
Apalagi, pada 31 Agustus 1945 tentara Belanda sengaja mengibarkan bendera kebangsaannya di depan publik Surabaya dengan dalih memperingati hari kelahiran Ratu Belanda. Hal ini kian membuat rakyatm para pemimpin serta ulama Indonesia meningkatkan kewaspadaan.
Dari titik inilah, sekali lagi, peran dunia pesantren mengemuka dalam mempertahankan Indonesia. Seperti dilansir dari laman NU-Online, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari pada 17 September 1945 mengeluarkan Fatwa Jihad. Isinya antara lain adalah penegasan bahwa perjuangan membela Tanah Air merupakan wujud jihad fi sabilillah. Ini pula sebagai jawaban atas pertanyaan Presiden Sukarno sebelumnya yang memohon perspektif hukum Islam mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan.