Rabu 24 Oct 2018 13:58 WIB

SNMPTN Berbasis Akreditasi Dinilai Perlu Dievaluasi

Seharusnya seleksi lebih ditekankan pada prestasi, kompetensi dan kreativitas siswa

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Sosialisasi SNMPTN dan SBMPTN 2018 / Ilustrasi
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Sosialisasi SNMPTN dan SBMPTN 2018 / Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelenggaraan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang masih berbasis akreditasi sekolah dinilai mesti dievaluasi. Seharusnya seleksi lebih ditekankan pada prestasi, kompetensi dan kreativitas siswa bukan akreditasi sekolah.

"Yang mau kuliah itu anak apa sekolah? Kan aneh kalau yang dipakai (acuan) akreditasi sekolah. Apa sudah pasti tidak ada anak berbakat atau cerdas di sekolah dengan akreditasi rendah?" kata Pengamat Pendidikan sekaligus Direktur Utama PT Eduspec Indonesia Indra Charismiadji saat dihubungi Republika, Rabu (24/10).

Indra menekankan, di era digital seperti sekarang nilai akademik semestinya tidak lagi diagung-agungkan. Menurut dia, selama ini penilaian guru terhadap siswa pun cenderung tidak konsisten.

Karena itu, angka atau nilai tidak terlalu menjamin keakuratan siswa tersebut unggul atau tidak. Apalagi generasi milenial yang tumbuh sekarang memiliki kompetensi yang lebih beragam. Jadi tidak adil jika seorang siswa diberikan nilai dengan takaran yang sama-rata.

"Misal ada yang bilang kalau kualitas nilai 9 di sekolah akreditasi A, dan nilai 9 di sekolah akreditas rendah kan beda. Nah ini repotnya pakai angka, tidak konsisten. Karena sama-sama nilai 9 di sekolah yang sama dengan guru yang sama saja, tidak akurat. Karena sebenarnya tiap anak berbeda kok," jelas Indra.

Semestinya, dikatakan Indra, perguruan tinggi mulai mengubah cara pandang dalam menyeleksi calon mahasiswa. Karena banyak siswa yang memiliki inovasi dan kreativitas namun nilai akademiknya tidak terlalu baik.

Diketahui sebelumnya, Sekretaris Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) Prof Joni Permana menyampaikan penyelenggaraan SNMPTN berbasis akreditasi sebagai konsekuensi logis capaian sekolah masing-masing. Bahkan, menurut dia tidak adil jika capaian kualitas akademiknya A diperlakukan sama dengan sekolah yang kualitas akademiknya lebih rendah.

"Pola SNMPTN tetap (berbasis kepada akreditasi), itu konsekuenasi logis dari capaian kualitas masing-masing sekolah. Jadi sebetulnya ini bentuk apresiasi bagi sekolah yang telah menunjukkan kinerja lebih baik," kata Prof Joni saat dihubungi Republika, Selasa (23/10).

Dia menerangkan, sekolah yang terakreditasi A boleh mendaftarkan 40 persen siswa terbaiknya melalui SNMPTN. Lalu sekolah yang terakreditasi B boleh mendaftarkan 30 persen siswa terbaiknya, dan sekolah terakreditasi C hanya bisa mendaftarkan 5 persen siswa terbaiknya pada SNMPTN tahun 2019.

Joni yang juga menjabat sebagai rektor ITS mengaku tidak sependapat jika skema SNMPTN dengan berbasis akreditasi sekolah dinilai tidak relevan bahkan terkesan men-kastanisasi lembaga pendidikan. Karena secara prinsip, pihaknya ingin membantu semua siswa terbaik masuk PTN.

"Tapi tentunya dengan keyakinan bahwa mereka semua akan mampu menyelesaikan kuliahnya dengan baik dan tepat waktu," ungkap Joni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement