Senin 21 Sep 2020 19:24 WIB

KPAI Sarankan Pelajaran Sejarah Diperbaiki

Kurikulum sejarah didominasi perang dan Jawa dengan metode hafalan.

Rep: Inas Widyanuratikah  / Red: Ratna Puspita
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan pelajaran sejarah harus tetap ada di semua jenjang pendidikan. Namun, ia mendorong agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan perbaikan materi dan metode mata pelajaran sejarah.

"Saya menilai memang ada muatan-muatan kurikulum sejarah yang harus diperbaiki, begitupun metode pembelajaran sejarahnya, mumpung Kemendikbud sedang menyederhanakan kurikulum," kata Retno, Senin (21/9). 

Baca Juga

Mengenai muatan, Retno menjelaskan dua alasan kurikulum mata pelajaran sejarah harus diperbaiki. Pertama, ia melihat, kurikulum sejarah Indonesia didominasi oleh sejarah perang dan kekerasan. 

Hal ini, menurut Retno, bisa diperbaiki agar generasi muda tidak salah menafsirkan seolah-olah bangsa kita penuh kekerasan. Sebab, ia menerangkan, pembelajaran sejarah sejatinya dapat menjadi  instrumen strategis untuk membentuk identitas dan karakter generasi muda sebagai penerus bangsa. 

"Dikhawatirkan generasi mudanya akan menyelesaikan masalah dengan kekerasan, bukan dengan dialog," kata dia menambahkan. 

Kedua, ia mengatakan, kurikulum sejarah juga didominasi oleh sejarah Jawa dan kurang memberikan tempat sejarah wilayah lain. Hal ini menyebabkan, anak Papua, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera kebanyakan belajar sejarah Jawa.

Mengenai metode, Retno melanjutkan, pembelajaran sejarah oleh para guru selama ini memang cenderung sebatas menghafal. Mestinya, pelajaran sejarah berisi pemaknaan dan esensi nilai-nilai apa saja dari suatu peristiwa sejarah tersebut bagi perjalanan bangsa.

"Pembelajaran sejarah cenderung membosankan bagi anak-anak karena hanya hafalan seputar apa kejadian, dimana kejadiannya, siapa saja tokoh sejarahnya, kapan terjadinya dan dimana kejadiannya. Bagaimananya dari peristiwa sejarah itu jarang digali dan didalami melalui dialog. Kalau hafalan, cenderung mudah dilupakan dan tidak dipahami makna suatu peristiwa sejarah," kata dia lagi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement