Sabtu 04 Jul 2020 16:02 WIB

DPRD DKI Jakarta Kritisi Mendikbud Soal PPJ

Mustahil PPJ dipermanenkan karena masih ada 92,99 juta penduduk Indonesia yang gagap

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Zita Anjani melayangkan kritik terhadap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim terkait Pembelajaran Jarak Jauh (PPJ). Zita keberatan dengan adanya wacana bakal mempermanenkan PPJ. Padahal, masalah metode dan inovasi PPJ saja belum selesai.

"Saya pikir Mas Nadiem ini orang yang sangat paham keadaan bangsa, karakter anak-anak kita bagaimana, harusnya melek dulu sebelum memunculkan niat permanenkan PJJ," kritik politikus Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Sabtu (4/7).

Zita memaparkan, di Indonesia setidaknya ada 62 daerah tertinggal. Center of Reform on Economics (CORE) memperkirakan penduduk miskin akan bertambah menjadi 30,8 juta jiwa selama pademi. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan, penduduk kita yang melek teknologi hanya sekitar 64,8 persen. Itu artinya masih ada 92,99 juta penduduk Indonesia yang gagap teknologi. 

"Dengan keadaan seperti ini harusnya mas menteri paham kondisi, mustahil PJJ di permanenkan, masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus di selesaikan terlebih dulu," saran Zita.

Kendati demikian, Zita mengapresiasi karena Mendikbud sudah berpikir 1000 langkah lebih maju ke depan. Namun harus realistis juga, lihat system belajar yang sudah di terapkan 3 bulan ini, evaluasinya banyak sekali. Di negara maju saja, Amerika dan Singapura, yang kualitas guru dan infrastrukturnya sudah memadai untuk jarak jauh, tetap terapkan pembelajaran tatap muka. 

Bukan masalah mampunya, lanjut Zita, tapi efisiensinya, siswa Amerika sendiri yang meminta itu. Di Indonesia pun sama, anak-anak sudah tidak lagi fokus dan tempramental selama di rumah. Karena dunianya dicabut, bermain, belajar, dan mengenali peran dan statusnya sudah tidak lagi di rasakan.

Sebelumnya, Zita mengaku sudah pernah mengirim surat terbuka untuk Mendikbud. Selang beberapa harinya, Zita tanggapi kebijakannya dengan solusi. Ia membagikan wacana ke dalam 4 metode pembelajaran, online Guided Distance Learning, Suport Guided Home Learning, Suport Guided Comunity Learning, dan New Normal School. 

"Tiap metodenya harus di perhatikan akses gadget, akses internet, pengawasan orang dewasa, inovasi kurikulum, bahan pembelajaran, fasilitas dan guru pengajar," ungkap Zita.

Sambung Zita, itu semua adalah kelebihan dan kekurangan dari tiap daerah dan etodenya menyesuaikan. Sebagai contoh metode OGDL. Seminimalnya harus ada akses Gadget, akses internet, inovasi kurikulum, dan yang terpenting pengawasan orang tua. Hal itu agar anak tidak salah gunakan gadget yang ada. Untuk yang tidak punya gadget dan internet, gunakan metode lain.

"Saya coba beri gagasan, besar harapan mas menteri bisa memikirkan sampai ke situ solusinya kalau memang mau di patenkan. Jangan sampai PJJ malah mendiskriminasi pendidikan anak, saya tentang keras soal itu," tutur Zita.

Zita mengakui, PR-nya memang banyak dan negara harus hadir. Maka Mendikbud harus jadi juru selamat untuk anak bangsa. Anak-anak Indonesia menaruh harapan besar, ia percaya Mendikbud bisa lebih bijak dalam mengambil langkah. "Anak-anak kami menantikan cinta dari Mas Menteri yang sangat mereka kagumi," tutup Zita. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement