Kamis 11 Jun 2020 10:35 WIB

'Sekadar Menormalkan Sekolah tidaklah Cukup'

Indonesia dinilai butuh kurikulum era pandemi yang adaptif.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Yudha Manggala P Putra
Enggartiasto Lukita. Ilustrasi
Foto: Republika/Imas Damayanti
Enggartiasto Lukita. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Indonesia dinilai membutuhkan cara baru dalam tata kelola pendidikan selama masa pandemi dan pascapandemi. Menurut Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Enggartiasto Lukita, jangan sampai pandemi menghalangi hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan secara memadai.

"Karena itu, butuh kurikulum baru yang relevan dengan situasi kenormalan baru (new normal). Setelah pandemi berlalu, sekadar menormalkan sekolah tidaklah cukup. Yang diperlukan adalah transformasi, yaitu “desain besar” untuk mengubah sistem pendidikan secara mendasar," ujar Enggar saat membuka webinar “Pendidikan Bermutu di Musim Pandemi: Tantangan dan Harapan” yang digagas IKA UPI Komisariat Provinsi Maluku, belum lama ini.

Enggar mengatakan, visi Presiden Jokowi Widodo sudah sangat jelas menyebutkan sumber daya manusia (SDM) sebagai kunci kemajuan bangsa. Untuk mendapatkan SDM unggul, maka pendidikanlah satu-satunya yang bisa menentukan. Pendidikan, menjadi penentu masa depan bangsa ini.

“Mari kita jujur! Sebelum pandemi saja kita merasakan ketertinggalan dibandingkan dengan beberapa negara lain yang maju. Apalagi sekarang kita di tengah pandemi," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, maka pembelajaran jarak jauh menjadi topik utama. Karena, kita sedang beradaptasi dengan budaya baru dalam pembelajaran.

Penyandang gelar doktor kehormatan (honoris causa) bidang pendidikan kewirausahaan ini menilai, Kurikulum 2013 yang begitu padat tidak mungkin itu kita terapkan selama masa pandemi. Karena itu, perlu konstruksi kurikulum yang relevan dengan situasi pandemi maupun pascapandemi. Artinya, Indonesia membutuhkan kurikulum era pandemi yang adaptif dengan perubahan global tersebut.

“Ini tantangan kita semua. Dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh ini, baku mutu, standar, tidak ada yang seragam. Ini diserahkan kepada kreativitas masing-masing guru dan sekolah," katanya.

Sehingga, kata dia, akan terjadi kesenjangan dari satu guru dengan satu guru lain, sekolah satu dengan sekolah lain, satu kota dengan kota lain, satu provinsi dengan provinsi lain yang memang tidak dipersiapkan untuk itu.  Sehingga, ia berharap dari berbagai webinar ini akan ada yang lebih. Ada sesuatu yang bisa dihasilkan untuk menata ulang pendidikan kita ke depan,” kata Enggar.

“Dan, kami di IKA UPI akan menyampaian dan menyerukan kepada Mas Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim) mengenai urgensi dari hal ini. Lebih tajam dan lebih jauh. Kita sampaikan secara tertulis dan terbuka kepada pemerintah,” paparnya.

Ketua IKA UPI Bidang Pembinaan Profesi Unifah Rosyidi mengatakan, bahwa pandemi Covid-19 membawa dampak luar biasa pada dunia pendidikan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan tidak mengakomodasi situasi ini.

Apalagi terjadi disparitas mencolok antara satu sekolah dengan sekolah lain atau satu daerah dengan daerah lain. Pada saat yang sama, hanya sedikit guru yang siap melakukan pembelajaran online secara mandiri. Kepemilikan siswa terhadap perangkat komunikasi juga terbatas. Belum lagi orang tua yang belum terbiasa dengan pembelajaran online.

“Pandemi adalah momentum. Masa pandemi ini adalah momentum untuk kita melakukan hal-hal besar dan mendasar. Untuk mencegah penularan virus, sementara ini para siswa harus mematuhi protokol kesehatan, seraya melakukan berbagai upaya praktis agar pendidikan berjalan normal," katanya.

Benang merahnya, kata dia, bukan menaikan angka partisipasi sekolah seperti yang kini banyak dilakukan, tetapi melakukan perubahan menyeluruh dan mendasar kurikulum sekolah, baik dominasi kontennya maupun remodeling sistem pembelajarannya.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ini menegaskan, sistem pembejaran tidak bisa kembali ke suasana seperti sebelum pandemi. Selama vaksin belum ditemukan, maka kita melakukan dengan cara baru. Jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bisa karena siswa harus berbagi ruangan kelas. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan dengan kenormalan baru tersebut.

“Dengan pandemi dan setelahnya nanti, kita tidak bisa melakukan tata kelola pendidikan secara business as usual. Kita harus melakukan dengan pendekatan kontekstual. Harus melakukan usaha-usaha khusus," katanya.

Misalnya, kata dia, membuat modul pembelajaran. Yang penting adalah bagaimana guru memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga anak bisa belajar bersama orang tua.

Secara kelembagaan, kata Unifah, PB PGRI tengah menyusun konsep kurikulum era pandemi. Kurikulum ini didesain menjadi sangat praktis dan aplikatif dengan target pembelajaran rasional. Ini membedakan dengan kurikulum sekarang yang padat konten, sulit mendorong anak untuk belajar secara mandiri di rumah. Kurikulum juga memberikan keleluasaan kepada sekolah menyusun pembelajaran yang mungkin dicapai oleh siswa.

“Dengan kurikulum era pandemi ini, guru tidak harus menyampaikan teori mata pelajaran, tetapi melatih anak belajar secara praktis untuk mencapai kompetensi minimum literasi dan numerasi. Basic literacy yaitu membaca, menulis, menyimak, mengomunikasi dan logika matemtatika untuk survival hidup di alam nyata,” papar Unifah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement