Kamis 23 Jan 2020 18:12 WIB

Pakar: Perlu Pendekatan Sistemik Mengikis Intoleransi

Aada yang pemahaman agamanya itu berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang.

Darmaningtyas
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Darmaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan merupakan proses transfer  pengetahuan dari pendidik ke anak didik selain pengetahuan diperlukan juga pembinaan karakter bagi generasi muda agar tidak salah menerapkan ilmunya. Salah satu karakter penting yang perlu ditanamkan oleh dunia pendidikan adalah penghargaan terhadap keragaman.

Pengamat pendidikan nasional, Darmaningtyas mengatakan bahwa mengikis intoleransi di dalam dunia pendidikan membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan sistematis kepada semua pihak termasuk tehadap para guru dan murid.

“Saya kira kita memerlukan pendekatan sistemik karena penyebarannya ini sudah terjadi sejak lama. Mahasiswa pada tahun 80-an kesini ini banyak yang menjadi guru itu kan kebanyakan sudah masuk ke kelompok kelompok yang bisa dikatakan garis keras. Ketika menjadi guru, mereka menularkan pandangan-pandangannya kepada murid-muridnya. Beda halnya  kalau sebelum  tahun 80-an yang mana tenaga pendidik atau guru-gurunya itu sudah lama dan belum terkontaminasi dengan paham paham radikal pada saat kuliah. Itu dari segi guru atau pengajarnya,” ujar Darmaningtyas di Jakarta, Kamis (23/1).

Lebih lanjut Darmaningtyas mengungkapkan bahwa mulai pada tahun1980-an ini mulai terjadi proses formalisasi agama (agamanisasi) di lingkungan sekolah. Dan ini bukan hanya dalam pelajaran agamanya saja,  tetapi juga dalam praktek keseharian. Kemudian pasca reformasi mulai banyak sekolah-sekolah yang berkaitan dengan agama bermunculan yang didirikan oleh kelompok agama ataupun partai politik. Hal inilah  yang berakibat munculnya bibit-bibit intoleransi secara masif.

“Dimana sekolah-sekolah itu pahannya berbeda sekali dengan paham kebangsaan yang seharusnya paham kebangsaan ini harus terus dikembangkan di sekolah-sekolah negeri. Apalagi kemudian ada Rohis (Rohani Islam) yang mentornya bukan guru agama melainkan dari para alumni yang sudah menjadi mahasiswa. Sudah rumit, tidak sesederhana seperti yang dibayangkan oleh banyak orang,” tutur Alumni Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta tersebut.

Darmaningtyas juga menyampaikan bahwa ada beberapa penyebab timbulnya intoleransi di dunia pendidikan. Seperti soal pemahaman terhadap ayat-ayat yang ada di dalam Alquran dan lain sebagainya. Lalu yang menurutnya sejak tahun  90-an kesadaran masyarakat untuk beragama dan memahami agamanya itu mulai terlihat meningkat. 

“Contohnya  kalau sebelum tahun 90-an itu mungkin kita mendapatkan mahasiswi atau siswi yang berjilbab itu sangat jarang. Tetapi kalau sekarang kita banyak mendapatkan dan menjumpai  mahasiswi atau murid wanita  yang berjilbab. Artinya apa? Kesadaran individu masyarakat untuk beragama itu meningkat,” ujarnya.

Namun demikian menurutnya dalam proses peningkatan kesadaran beragamanya itu itu tentu ada yang pemahaman agamanya itu berbeda dengan pemahaman kebanyakan orang. “Dalam artian masing-masing orang itu  berbeda-beda terhadap  keyakinan atau terhadap ayat-ayatnya. Nah itulah yang terjadi hingga hari ini,” kata pria yang juga anggota Dewan Penasehat Center for the betterment of Education (CBE) itu.

Dalam kesempatan tersebut, Darmaningtyas juga menanggapi terkait berita yang ramai diperbincangkan terkait ada sekolah yang mengeluarkan siswanya karena mengucapkan selamat ulang tahun kepada siswa yang berlainan jenis.

Meskipun kejadian itu terjadi di sekolah swasta, namun menurutnya peraturan sekolahnya itu sendiri juga harus dikritisi, Karena mengucapkan selamat menurutnya,  baik itu disampaikan terhadap lawan jenis meskipun berbeda suku, agama adalah suatu tindakan kebaikan yang tentunya harus dikembangkan di sekolah-sekolah.

“Jangan malah siswa yang berbuat baik malah dikenai sanksi. Karena produk atau lulusan dari sekolah swasta itu nanti juga akan terjun ke masyarakat. Kalau kemudian pemahaman menjadi sempit tentunya nanti sebagiaan masyarakat juga akan memiliki pemahaman yang terlalu sempit,” ujar Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) periode 2010-2012.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement