Senin 01 Apr 2019 18:18 WIB

Cerita Kawan SLI Mengajar Baca Tulis para Ibu Suku Akit

SLI telah berjalan di 54 sekolah yang terletak di 18 wilayah Indonesia.

Kawan SLI mengajar di Suku Akit.
Foto: SLI
Kawan SLI mengajar di Suku Akit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buta aksara masih menjadi salah satu permasalahan Indonesia. Terlebih pada masyarakat pedalaman dengan keterbatasan akses terhadap layanan pendidikan yang layak.

Suku Akit di pedalaman Provinsi Riau, contohnya. Banyak orang dewasa di suku yang berdiam di perairan laut dan muara sungai tersebut tidak bisa membaca dan menulis. 

Dompet Dhuafa Pendidikan (DD Pendidikan) pun berupaya memberikan kontribusinya melalui program Sekolah Literasi Indonesia (SLI). SLI merupakan program peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas sekolah dengan menggunakan pendekatan literasi.

Dimulai sejak 2018 lalu, program ini telah berjalan di 54 sekolah yang terletak di 18 wilayah Indonesia. Untuk memastikan program berjalan dengan optimal sesuai perencanaan, pada setiap wilayah SLI tersebut DD Pendidikan menempatkan seorang Konsultan Relawan.  

Salah satu lokasi program SLI adalah SDN 12 Sokop Lokal Jauh yang berada di Kelurahan Bandaraya, Kecamatan Rangsang Pesisir, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Di sanalah anak-anak Suku Akit bersekolah. Ironisnya, justru banyak ibu dari para siswa di sekolah tersebut yang masih buta huruf. 

Program SLI tidak hanya menyasar sekolah saja, tapi juga masyarakat sekitar sekolah dengan target menekan angka buta aksara. Para ibu Suku Akit tersebut pun kemudian bergabung dengan masyarakat yang sebelumnya telah bergabung menjadi peserta program. Munzir, Konsultan Relawan SLI (Kawan SLI)  penempatan di Kepulauan Meranti pun memandu para ibu ini belajar. “Cukup banyak ibu yang berusia 30 tahun atau lebih yang masih mengalami buta aksara, namun umur yang tidak lagi muda ternyata tidak mengendurkan semangat mereka untuk belajar baca tulis dan berhitung,” ungkap Munzir.

Antusiasme para ibu yang kebanyakan berprofesi sebagai ibu rumah tangga ini untuk bisa membaca, menulis, berhitung sangat jelas terlihat setiap kali mereka belajar. Salah satu ruang kelas di SDN 12 Sokop Lokal Jauh menjadi tempat ibu-ibu ini belajar.

Mereka yang  berjumlah lebih dari 20 orang ini pun datang beramai-ramai untuk berbagi cerita dengan warga belajar yang telah mengikuti kegiatan Keaksaraan. Tujuan kegiatan ini selain memberantas buta aksara juga untuk melatih para peserta agar berani berbicara di depan umum.

Proses pembelajaran biasanya diawali dengan menceritakan pengalaman pahit para peserta yang harus mereka alami karena tidak bisa membaca. Namun, pengalaman pahit itu menjadi sebuah komedi tersendiri karena kekonyolannya. “Pernah ada seorang ibu yang bercerita pada kami, ia harus celingukan di warung cukup lama karena tidak tahu nama barang yang mau dia beli karena tidak bisa membacanya. Akhirnya dibantu sama penjaga warung, tapi sambil ditertawakan dulu,” kata Munzir sambil menahan tawa.

Munzir juga menceritakan pengakuan ibu yang lain di mana ia harus menahan malu karena tidak bisa mengisi formulir untuk mendaftarkan anaknya masuk sekolah dasar. Dan banyak lagi kisah seputar permasalahan kehidupan sehari-hari para peserta yang sebenarnya mudah, namun menjadi lebih sulit karena mereka tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Selain berbincang, proses belajar bersama juga diramaikan dengan kuis dan permainan oleh Munzir. “Ini strategi agar para peserta ini tidak bosan saja,” ucap dia.

Strategi ini ia lakukan karena Munzir berharap para ibu lebih bersemangat dan  berkomitmen belajar guna memerdekakan diri mereka dari buta aksara. “Para perempuan yang tak lagi berusia muda ini tidak menginginkan ketertindasan yang dulu mereka alami harus juga dirasakan oleh anak-anaknya. Mereka tidak diizinkan sekolah oleh orang tua karena kemiskinan, sehingga orang tua mereka terpaksa mendahulukan anak laki-laki untuk sekolah,” ucap Munzir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement