Rabu 25 Jul 2018 17:22 WIB

'Ujian Nasional tak Lagi Sahih di Era Disrupsi'

Ujian-ujian tidak cukup lagi untuk membangun kemampuan non-kognitif.

Pendiri gerakan sekolah menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal
Foto: Republika/Eric Iskandarsjah
Pendiri gerakan sekolah menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Urgensi Ujian Nasional (UN) masih menjadi perdebatan dalam sistem pendidikan Indonesia. Sebagian berpendapat, keberadaannya dipandang tak lagi cukup untuk menjawab kebutuhan di era disrupsi. 

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, memaparkan prinsip-prinsip yang seharusnya diusung agar generasi mendatang mampu menghadapi zaman kompleks yang dipicu oleh perkembangan teknologi.

Dalam kuliah umum di Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada, Jumat (20/7), Rizal angkat bicara soal pentingnya menemukan kembali kurikulum pendidikan formal di era disruptif. Dia memulai diskusi dengan menjelaskan betapa pesatnya kemajuan di dunia ini kepada mahasiswa-mahasiswa internasional dari 10th UGM Dream Summer Program 2018.

Ketika presentasi, gambar perkembangan mobil dari abad 19 ke abad 21, telepon yang ditemukan oleh Alexander Graham Bell pun mengalami kemajuan pesat menjadi smartphone yang kita gunakan saat ini.

Namun, ada fakta pelik yang menunjukkan bahwa format kelas tidak mengalami perubahan dari zaman penjajahan hingga saat ini. Susunan meja dan kursi yang seragam masih diterapkan, sementara guru jadi sumber ilmu tunggal dengan mengajar di depan kelas.

"Sistem pendidikan yang cenderung menyeragamkan dan menuntut kepatuhan siswa pun masih bertahan di nusantara, dengan ujian nasional sebagai puncak masalahnya," ujar Rizal kepada Republika, Rabu (25/7).

Menurut Rizal, ujian-ujian untuk melakukan standardisasi memang masih diperlukan untuk memetakan tingkatan pendidikan, tetapi itu tidak lagi cukup untuk membangun keterampilan lain (non-kognitif) untuk menghadapi abad ke-21.

"Di tengah derasnya arus informasi, kecerdasan kognitif semata tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan nyata dalam kehidupan,” kata Rizal menambahkan.

Sayangnya, kata Rizal, pendidikan kita didominasi oleh standardize test tersebut. Guru-guru didesak untuk mempersiapkan siswanya untuk menghadapi ujian semata, bukan menyiapkan anak-anak untuk menghadapi permasalahan nyata dalam keseharian.

"Akibatnya sekolah dapat membunuh potensi dasar manusia seperti keragaman talenta, keingintahuan atau kreativitas," kata pria yang juga berprofesi sebagai Dosen Fakultas Teknik UGM itu.

Rizal pun menyambung pandangan mengenai tidak cukupnya UN dengan solusi yang bisa ditawarkan oleh gerakan akar rumput yang dirintisnya, yakni Gerakan Sekolah Menyenangkan.

“Ada prinsip penting yang perlu dibangun dalam pendidikan hari ini, yakni kultur belajar yang transformatif. Kultur ini mengarah pada perubahan sudut pandang (psikologi), perubahan dalam implementasi (behavioural), dan merevisi pandangan lama dengan insight baru (convictional). 

Kultur transformatif yang ditawarkan GSM mampu mengubah mindset sekolah dan guru-guru yang terlibat, kemudian menerapkannya dengan wawasan serta skills baru yang pada akhirnya mampu merevisi pandangan lama tentang sekolah bahwa pendidikan tidak lagi perlu menyeragamkan karena tidak sesuai dengan kodrat manusia.

"Melalui kultur baru tersebut, sekolah Indonesia diharapkan siap menjadi sekolah masa depan," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement