Senin 27 Jun 2016 08:23 WIB

Kasih Ibu tak Terhalang Dinding Penjara

Penjara
Penjara

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Hafil / Wartawan Republika

 

"Mama kapan pulang?” tanya Didin (bukan nama sebenarnya).

“Makanya kamu harus pintar, ya, sekolahnya. Kalau kamu pintar, nanti Mama cepat pulang ke rumah,” jawab Eva Nurhayati (35 tahun).

Percakapan itu terjadi di ruang besuk khusus anak di Aula Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta, Rabu (22/6) lalu. Eva merupakan narapidana kasus kriminal umum yang divonis 6 tahun 3 bulan penjara. Dia sudah menjalani hukuman selama satu tahun terakhir.

Keterbatasan sebagai narapidana tak menghalanginya untuk memberikan kasih sayang kepada anaknya, Didin (6 tahun). Didin sekarang masih bersekolah di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Curahan kasih sayangnya secara fisik dilakukan setiap satu pekan. Pada sore itu, Eva mengetes sejauh mana pengetahuan anaknya tentang huruf dan angka. Setiap membesuk ibunya, Didin selalu membawa buku bergambar yang berisi pengetahuan tentang pengenalan terhadap huruf.

“Ini huruf H, ini huruf I, ini huruf J,” pamer Didin ke ibunya.

“Betul,” kata Eva.

Setiap pekan Didin selalu menunjukkan kemampuannya  dalam mengenali huruf-huruf. Pengetahuannya semakin bertambah. 

Satu tahun lalu, saat Eva baru pertama kali masuk penjara, Didin sempat tak mau melanjutkan sekolahnya di taman kanak-kanak (TK) sehingga dia harus keluar. Ini karena Eva tak bisa lagi mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Namun, setelah rutin mengunjungi Eva setiap pekan, dia mau melanjutkan sekolahnya ke PAUD di Tanjung Priok.

“Saya dorong terus dia untuk masuk sekolah, saya bilang kalau rajin sekolah dan pintar mamanya akan cepat pulang ke rumah,” kata Eva.

Untungnya, Eva mengaku memiliki seorang suami yang baik. Dia juga memotivasi anaknya agar tetap sekolah meskipun ibunya tak ada. Sekarang, suaminyalah yang mengantar dan menjemput Didin ke sekolah.

Penghasilan suaminya sebagai seorang buruh kasar di Pelabuhan Tanjung Priok kurang untuk mencukupi kebutuhan Didin sekolah. Namun, Eva yakin rezeki sudah ada yang mengatur.

Selama di Rutan, Eva memanfaatkan keahliannya sebagai seorang mantan pekerja kecantikan. “Saya di rutan mencari sambilan untuk memijit, lulur, dan segala hal yang berkaitan dengan kecantikan kepada narapidana lainnya,” kata Eva.

Dari usahanya itu, dia mengumpulkan uang tip dari narapidana. Kemudian, dia menitipkannya kepada Koperasi Rutan Pondok Bambu. Beberapa pekan sekali, dia mengambil uangnya dan memberikannya kepada suaminya untuk kebutuhan sekolah Didin.

Tidak hanya motivasi dalam bidang pendidikan yang ia berikan kepada Didin. Dia juga berkewajiban menanamkan nilai-nilai tanggung jawab dan moral kepada anaknya.

Berdasarkan cerita suaminya, Eva menyebut Didin sekarang lebih mandiri. Dia sudah bisa mengambil makanan sendiri di rumah dan mengurus dirinya sendiri selayaknya anak seusianya, seperti memakai baju dan menyiapkan buku sekolahnya sendiri. Bidang rohani juga tidak dilupakan Eva. Setiap pekan itu, Didin biasanya menyetor hafalan doa-doa.

“Saya ingin agar Didin menjadi orang yang benar. Saya akui, saya pernah punya kesalahan sehingga saya harus dipenjara, tapi saya sudah menyesal dan tak ingin anak saya menjadi anak yang punya masalah hukum,” kata Eva.

Eva mengaku harus menjaga komunikasi dengan anaknya yang sekarang terpisah. Ini supaya Didin merasa memiliki ibu yang memberikan perhatian kepada dirinya. Dengan komunikasi yang dijaga itu, Didin selalu meminta kepada ayahnya agar setiap pekan membesuk ibunya di Rutan Pondok Bambu.

“Ini juga tak lepas dari arahan petugas-petugas di rutan yang meminta para narapidana agar selalu menjaga komunikasi dan memperhatikan anak-anaknya,” kata Eva.

Kepala Rutan Pondok Bambu Ika Yusanti mengatakan, Eva merupakan salah satu contoh narapidana wanita yang memiliki perhatian terhadap anak-anaknya. Dalam waktu tiga kali sepekan, pihak rutan menyediakan waktu selama satu jam di sore hari khusus untuk anak-anak dan ibunya.

“Jadi di Aula Rutan Pondok Bambu di waktu khusus itu, anak-anak dan ibunya bebas untuk berdiskusi dan berkomunikasi. Banyak yang memanfaatkanya untuk belajar dan ada juga yang mengerjakan shalat berjamaah,” kata Ika.

Menurut Ika, pihak rutan memiliki agenda rutin untuk memberikan motivasi-motivasi tentang pentingnya komunikasi antara ibu yang sedang menjadi narapidana dengan anak-anaknya di rumah. Salah satunya adalah dengan nonton bareng  film yang memiliki nilai-nilai tentang kekeluargaan.

“Dengan nonton bareng ini, biasanya ibu-ibu warga binaan mendapat pencerahan bagaimana membangun komunikasi dengan anak-anaknya yang ada di rumah,” kata Ika.

Selain itu, lanjut Ika, juga dengan pemberian pesan-pesan secara personal antara petugas dengan narapidana. Para petugas memberikan motivasi agar ibu-ibu narapidana selalu menjaga hubungan batin dengan anak-anaknya yang sekarang lebih banyak dipisahkan oleh dinding penjara.

Untuk mengantisipasi jarangnya komunikasi, selain dengan cara membesuk, Ika mengatakan bahwa di setiap blok rutan disediakan wartel. Wartel tersebut dapat digunakan para narapidana untuk menelepon anak-anaknya. Tentu saja, penggunaan wartel ini disesuaikan dengan waktu-waktu yang telah disediakan dan ditentukan oleh pihak rutan.

Ramah anak

Psikolog anak Seto Mulyadi mengatakan, Eva merupakan contoh kasus narapidana ibu yang produktif. Seto Mulyadi menilai, Eva proaktif dalam memperhatikan dan membimbing anaknya meski memiliki keterbatasan waktu dan tempat untuk bertemu.

“Saya sangat mendukung sifat ibu yang menjadi narapidana seperti Eva. Di satu sisi, dia harus menjalani hubungannya dengan negara, yaitu menjadi warga binaan di penjara. Tetapi, sebagai orang tua, dia bertanggung jawab dengan menciptakan hubungan komunikasi yang hangat dengan anaknya. Jadi pola pendidikan keluarganya tidak hilang sama sekali,” kata pria yang akrab dipanggil Kak Seto itu.

Namun, Kak Seto yang juga menjadi anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM ini menyarankan, seharusnya pihak lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rutan menambah waktu berkunjung anak-anak kepada ibunya. Selain itu, di setiap lapas atau rutan juga perlu disediakan tempat bermain khusus untuk anak.

“Dari sisi perlindungan, si anak tidak mengalami trauma dan membenci penjara yang dalam beberapa waktu menjadi tempat sementara ibunya tinggal,” kata Kak Seto.

Ide itu muncul setelah Kak Seto mengunjungi sejumlah lapas dan rutan di berbagai wilayah Indonesia. Kebanyakan anak-anak setelah mengetahui bahwa penjara adalah sesuatu yang menyeramkan, mereka jadi tidak mau datang lagi menjenguk orang tuanya yang sedang menjalani hukuman.

Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Ditjen Paudni Kemendikbud, Sukiman, mengatakan, pihaknya saat ini berencana untuk menjalin kerja sama dengan sejumlah lapas dan rutan khusus anak. Melalui kerja sama itu, pihaknya akan membantu memfasilitasi penyediaan buku-buku bacaan.

Selain itu, akan ada program di lapas dan rutan khusus anak untuk belajar melukis dengan tema keluarga. Harapannya adalah, anak-anak baik yang mendekam di lapas atau rutan maupun yang orang tuanya di lapas atau rutan yang sedang dipisahkan oleh dinding penjara, semakin mencintai dan rindu dengan keluarganya sendiri.

“Program ini kita harapkan bisa mencegah anak-anak menjadi anak yang broken home,” kata Sukiman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement