Kamis 14 Feb 2019 03:55 WIB

Madrasah Dinilai Sulit Terapkan Zonasi

Dengan sistem zonasi tidak ada lagi sekolah favorit dan tidak favorit.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
Siswa-siswa Madrasah Aliyah, Madrasah Tsnawiyah dan Madrasah ibtidaiyah. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Neni Ridarineni
Siswa-siswa Madrasah Aliyah, Madrasah Tsnawiyah dan Madrasah ibtidaiyah. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah berkoordinasi dengan Kementerian Agama, perihal usulan penerapan sistem zonasi di madrasah. Kendati demikian nampaknya penerapan sistem zonasi sulit diterapkan di madrasah.

"Jumlahnya (madrasah) terbatas, mau dizona bagaimana? Swasta kan tidak kita atur. Jadi ya memang, kita tahu. Kalau negerinya satu atau dua, dizona bagaimana,” ujar kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad usai penutupan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2019, Rabu (13/2).

Hamid menuturkan, selama ini pihaknya telah menjalin komunikasi dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag). Bahkan hingga saat ini menurut dia, usulan penerapan zonasi di madrasah masih dibicarakan oleh internal Ditjen Pendis.

"Masih berkomunikasi. Usulan sistem zonasi itu masih jadi kajian oleh tim Pendis," kata Hamid.

Dalam pemaparan rekomendasi Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2019, kelompok zonasi merekomendasikan Kemendikbud berkoordinasi dengan Kementerian Agama. Ini untuk merealisasikan sistem zonasi di seluruh satuan pendidikan, tak terkecuali madrasah.

Hal itu merupakan upaya menghilangkan stigma sekolah favorit, yang selama tiga tahun terakhir sudah dipraktikkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), di sekolah-sekolah yang berada di bawah Kemdikbud.

Mendikbud Muhadjir Effendy kembali menegaskan, bahwa pada prinsipnya sistem zonasi bertujuan untuk memberikan keadilan dalam hal pendidikan. Dengan sistem zonasi, tidak ada lagi sekolah negeri favorit dan tidak favorit.

“Karena pada dasarnya pelayanan publik itu tidak boleh eksklusif, tidak boleh ada pengecualian, dan tidak boleh diskriminatif,” tegas Muhadjir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement