Senin 31 Dec 2018 15:12 WIB

Silang Sengkarut Sistem PPDB dan Zonasi

Pelaksanaannya bukan berarti tanpa masalah dan tidak semulus yang direncanakan

Rep: Kiki Sakinah / Red: Esthi Maharani
Sejumlah orang tua murid menerima daftar nama anaknya yang diterima lewat jalur PPDB
Foto: Republika/Edi Yusuf
Sejumlah orang tua murid menerima daftar nama anaknya yang diterima lewat jalur PPDB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Upaya untuk menyempurnakan sistem pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Salah satu yang menjadi perhatian utama selama 2018 ialah perubahan dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan penerapan sistem zonasi sekolah.

Pada awal 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan perubahan dari sistem rayonisasi menjadi sistem zonasi pada PPDB. Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB menyebutkan zonasi menjadi salah satu unsur utama menerima peserta didik baru mulai jenjang sekolah dasar hingga menengah. 

Dengan demikian, PPDB pada tahun ajaran 2018 mewajibkan sekolah menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah.  Jika sistem rayonisasi lebih mementingkan capaian prestasi siswa di bidang akademik, sistem zonasi lebih menekankan pada jarak radius rumah siswa dengan sekolah.

Akan tetapi, meskipun zona menjadi kriteria utama dalam penerimaan peserta didik baru, setiap jenjang sekolah juga menerapkan kriteria utama lainnya. Untuk SD, kriteria penerimaan di antaranya usia peserta didik, dan jarak tempat tinggal ke sekolah.

Sedangkan untuk SMP dan SMA, prioritas utama adalah jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai ketentuan zonasi. Selanjutnya, kriteria diikuti dengan nilai hasil ujian jenjang sekolah terakhir, pertimbangan prestasi di bidang akademik dan non-akademik siswa.

Sejatinya, tujuan dari penerapan sistem PPDB dengan zonasi ini memang mulia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendi mengatakan, sistem zonasi bertujuan untuk menerapkan pemerataan kualitas. Dengan sistem zonasi ini, layanan akses bagi siswa terjamin, siswa mendapatkan sekolah yang dekat dengan lingkungan keluarga, dan menghilangkan diskriminasi di sekolah, khususnya negeri.

Akan tetapi, pelaksanaannya bukan berarti tanpa masalah dan tidak semulus yang direncanakan. Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim, mengatakan persoalan pendidikan, khususnya terkait PPDB dan sistem zonasi sekolah, pada 2018 menyisakan sejumlah masalah.

Pada dasarnya, Satriwan mengungkapkan ia mengapresiasi tujuan baik dari penerapan sistem PPDB dengan zonasi ini. Sistem ini bertujuan agar sekolah favorit tidak hanya menerima siswa yang berprestasi secara akademik, dan siswa yang bertempat tinggal di daerah dekat sekolah favorit bisa masuk ke sekolah tersebut. Dengan sistem ini, menurutnya, akses bagi siswa yang tidak mampu atau secara kemampuan akademik kurang menjadi terbuka.

“Tujuannya memang mulia, tapi peraturannya mendadak dan mekanisme kontrolnya sangat lemah, dan tidak terjadi komunikasi yang baik antar dinas atau institusi pemerintah,” kata Satriwan, saat dihubungi Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Pendataan yang tidak jelas antar zona, menjadi salah satu persoalan dalam penerapan PPDB dengan sistem zonasi.  Kasus yang terjadi di Jepara, misalnya, Satriwan mengungkapkan dalam satu zonasi terdapat sekolah yang kekurangan rombongan belajar. Kondisi itu disebabkan banyaknya sekolah dalam satu zonasi, tetapi jumlah calon peserta didiknya sedikit.

Sebaliknya, Satriwan mengungkapkan adanya kasus dalam satu zonasi hanya memiliki satu sekolah, sedangkan jumlah calon peserta didik melampaui. Sehingga, siswa terpaksa harus mendaftar ke sekolah swasta atau menyeberang antar zonasi.

Seperti yang terjadi di Kecamatan Jepon, Jiken dan Bogorejo di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Di tiga kecamatan tersebut, siswa yang ingin alih jenjang sekitar 40 kelas, sementara hanya ada 7 kelas yang diperebutkan di SMA Negeri I Jepon.

Dalam Permendikbud disebutkan, kuota peserta pada zona terdekat paling sedikit 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Sementara kuota sisanya diberikan masing-masing lima persen untuk siswa yang masuk melalui jalur prestasi dan siswa pindahan atau terjadi bencana sosial atau alam. Menurut Satriwan, pasal ini telah membatasi sekolah-sekolah yang ada di pusat kota dan kondisinya jauh dari konsentrasi pemukiman warga. Di Solo, minimnya jumlah siswa alih jenjang terjadi pada SMPN 3, SMPN 25, dan SMPN 26.

Selanjutnya, ketentuan dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 menyebutkan domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat di kartu keluarga (KK), yang diterbitkan paling lambat 6 bulan sebelum pelaksanaan PPDB.

Pasal ini menurut Satriwan juga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan dalam dokumen kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil). Ia mengatakan,tidak sedikit siswa membuat dokumen perpindahan tempat tinggal demi bisa bersekolah di sekolah yang diinginkan.

Seperti terjadi di Bogor, orang tua ramai melakukan migrasi kependudukan dengan pindah KK atau menumpang di kartu keluarga saudaranya di Jakarta. Hal itu lantaran mereka ingin anaknya bisa diterima di sekolah favorit di Jakarta.  Hal seperti ini, menurutnya, bisa menutup peluang siswa yang ingin alih jenjang di daerah dekat sekolah bersangkutan.

“Kami khawatir ini mengulang peristiwa yang sama seperti tahun sebelumnya. Setidaknya harus ada koordinasi antara dinas pendidikan dan dinas dukcapil termasuk RT/RW,” lanjutnya.

Di bagian ke 6 tentang biaya di pasal 19 pada Permendikub No.14 Tahun 2018 disebutkan, Pemerintah provinsi wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima yang dibuktikan dengan SKM. Satriwan mengatakan, pasal ini juga telah menimbulkan penyalahgunaan surat keterangan tidak mampu (SKTM).

Pasalnya, SKTM menjadi massal diproduksi oleh RT/RW. Sehingga, terjadi pembohongan secara kolektif karena orang tua ingin anaknya bersekolah di luar zonasinya atau di sekolah favorit yang dituju. Jalur SKTM muncul dan dimanfaatkan oleh siswa yang tempat tinggalnya tidak dalam zonasi di mana sekolah berada, atau siswa yang memang tinggal di zonasi tersebut namun tidak memperoleh kesempatan bersekolah di sana.

Pendataan calon peserta didik yang rumit dan infrastruktur sekolah yang kurang memadai juga berdampak pada guru-guru di sekolah. Jumlah siswa yang sedikit berbanding lurus dengan jumlah jam mengajar guru.

Satriwan menuturkan, guru-guru umumnya mengeluh karena sekolah menampung sedikit peserta didik. Sehingga, guru menjadi kekurangan jam mengajar. Sebaliknya, adapula guru yang beban mengajarnya menjadi bertambah lantaran menambah kelas.

Kasus yang terjadi di sebuah sekolah di Medan, misalnya, kepala sekolah sampai harus membuka kelas baru. Akan tetapi, orang tua yang anaknya tidak diterima di sekolah itu harus membayar sejumlah biaya. Hal ini menurutnya menimbulkan pungutan liar (pungli).

Terhitung mulai tahun ajaran 2019/2020, Kemendikbud telah menetapkan perubahan mekanisme pendataan yang tahun depan akan dilakukan oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) bersama Dinas Pendidikan. Dengan penerapan zonasi baru ini, ke depan tidak ada lagi penerimaan siswa baru menjelang tahun ajaran baru. Proses penerimaan siswa baru sudah mulai dilakukan sejak awal tahun dan bukan lagi menjelang pergantian tahun ajaran seperti sebelumnya.

Oleh karena itu, sejak awal tahun para siswa akan didata dan dikelompokkan dalam zonasi yang ditentukan berdasarkan akses pelajar dengan sekolah. Para siswa nantinya akan diarahkan untuk masuk ke sokolah yang paling dekat aksesnya dari rumah siswa.

MKKS akan berperan penting bersama Kepala Dinas Pendidikan untuk mengalokasi dan mendistribusi siswa di masing-masing zona. Di samping, mendata sekolah swasta mana saja yang bergabung dalam zonasi.

Ke depan, sekolah tidak akan menunggu siswa mendaftar. Melainkan, sekolah yang aktif menjemput siswa. Dalam hal ini, Kemendikbud menetapkan bahwa kepala sekolah akan dibebaskan dari tugas mengajar.

Akan tetapi, rencana Kemendikbud ini tampaknya berbeda dengan fakta di lapangan. Menurut Satriwan, sebagian kepala sekolah di Jakarta masih kebingungan terkait deskripsi pekerjaan mereka dan apa yang harus di data.

“Pendataan yang bermasalah jadi biang kerok. Makanya tahun depan pemerintah merencanakan melibatkan MKKS untuk melakukan pendataan secara dini. Tapi persoalannya, sampai sekarang di Jakarta misalnya kepala sekolah masih bingung apa yang harus mereka kerjakan,” ujarnya.

Atas berbagai permasalahan ini, Satriwan menyarankan beberapa hal untuk menjadi perhatian pemerintah.  Pertama, Satriwan mendesak pemerintah melakukan sosialisasi terlebih dahulu terhadap kepala sekolah, guru-guru, dan orang tua. Pasalnya, orang tua siswa umumnya belum memahami prosedur PPDB dengan sistem zonasi ini. 

Kedua, ia meminta pemerintah mempertimbangkan kembali untuk memberlakukan PPDB zonasi ini secara nasional. Karena, menurutnya, ada daerah rawan bencana yang harus diperlakukan secara khusus. Satriwan bahkan mengusulkan agar sistem PPDB dengan zonasi diterapkan dahulu di daerah tertentu sebagai proyek percontohan.

“Kami menyarankan untuk tidak menerapkan sistem zonasi dan PPDB ini secara ambisius secara nasional, tapi ambil daerah tertentu sebagai percontohan,” katanya.

Selanjutnya, ia mendesak agar pemerintah segera menerbitkan Permendikbud untuk sistem PPDB tahun ajaran 2019. Satriwan mengingatkan agar Permendikbud tidak terlambat dikeluarkan sementara proses pelaksanaan PPDB telah dimulai.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian juga mendesak pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, untuk melakukan evaluasi dari penerapan sistem PPDB dan zonasi tahun lalu. Menurutnya, masih banyak yang perlu disempurnakan dalam pelaksanaan PPDB 2018. Dalam hal ini, ia menekankan agar kelemahan-kelemahan dalam sistem PPDB 2018 diperbaiki.

“Evaluasi perlu supaya bisa diketahui mana daerah yang sudah baik dan daerah yang masih menghadapi masalah. Terkait masalah pemerataan antara jumlah sekolah dan jumlah siswa,” kata Hetifah.

Di samping itu, anggota DPR dari fraksi Partai Golkar ini menekankan agar peraturan pelaksanaan terkait PPDB dibuat lebih cermat dan menghindari multitafsir. Pemerintah pusat, menurutnya, berperan untuk memberikan penjelasan dan pengaturan yang jelas. Selanjutnya, pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada dinas pendidikan, kepala sekolah, guru dan orang tua.

Terkait ini, Hetifah mengakui ada beberapa persoalan harus dipecahkan. Salah satunya untuk wilayah yang masih membutuhkan sentuhan khusus, seperti daerah yang antara fasilitas sekolah dan jumlah anak berusia sekolah belum seimbang.

“Misalnya sekolah yang terlalu banyak tapi siswa sedikit dan sebaliknya. pemerintah harus memecahkan ini dan dicarikan solusinya,” ujarnya.

Hetifah juga mendesak pemerintah untuk mencari solusi terkait penyimpangan atau ketidakadilan yang selama ini terjadi dalam proses PPDB. Misalnya, terkait penyalahgunaan SKTM atau kartu keluarga (domisili).

Kendati masih menyisakan berbagai persoalan, Hetifah menekankan agar penerapan sistem PPDB dan zonasi ini tidak berjalan mundur. Ia berpandangan agar sistem PPDB dan zonasi ini tetap diterapkan secara nasional dan tidak di daerah tertentu sebagai percontohan. Hanya saja, kata dia, pemerintah harus mencarikan solusi bagi daerah yang masih bermasalah.

“Prinsipnya semua diberlakukan. Tapi bagi daerah yang sulit diberlakukan, mungkin di daerah tertentu yang sangat khusus, kita lakukan pendekatan tersendiri, tapi prinsipnya kita tidak boleh mundur,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement