Ahad 16 Dec 2018 01:19 WIB

‘Melukis’ Indonesia Melalui Karya

Siswa ditantang untuk 'mengawinkan' budaya tradisi lokal menjadi kekinian

Karya salah satu siswa Erudio School of Art, Drake Agrajayada Liemmore yang berjudul 'Look Closer'.
Foto: Humas ESOA
Karya salah satu siswa Erudio School of Art, Drake Agrajayada Liemmore yang berjudul 'Look Closer'.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah mata terpasang memenuhi satu frame foto. Tak hanya satu frame saja, seluruhnya ada 23 frame dengan mata dari orang yang berbeda. Frame-frame foto ini masing-masing saling dilekatkan di sebilah benang putih yang digantungkan dari atap hingga ke lantai yang dipenuhi setumpuk pasir. Uniknya, 23 frame foto ini membentuk Indonesia dengan lima pulau besarnya.

Karya ini merupakan milik salah satu siswa kelas 2B, Drake Agrajayada Liemmore dengan judul ‘Look Closer’. Dari caption yang ditulisnya, Drake menyebutkan tidak ada lagi ras murni di Indonesia. Negeri ini merupakan negeri multikultural yang merupakan percampuran dari berbagai budaya sehingga kini menjadi berbeda-beda dan tidak sama.

“Dari mata, kita bisa melihat perbedaan itu. Ada warna kulit yang berbeda, bentuk mata yang berbeda, bentuk alis, kelopak mata, warna bola mata, bentuk bulu mata hingga kerutannya pun berbeda. Dengan instalasi ini, saya menunjukkan kita semua berbeda yang berdiri di atas satu negeri. Pasir melambangkan Indonesia sebagai negara maritim,” tutur Drake saat ditemui Republika, Sabtu (15/12).

photo
Erudio School of Art menggelar pameran yang berjudul 'Simpang Susun', Sabtu (15/12).

 

Karya Drake ini merupakan salah satu dari puluhan karya yang bisa dilihat dalam pameran berjudul ‘Simpang Susun’. Pameran ini merupakan karya dari siswa-siswa sekolah Erudio School of Art (ESOA) yang terletak di Jalan Lebak Bulus I, Jakarta Selatan ini.

ESOA merupakan sekolah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan spesifikasi penjurusan seni. Setiap semester, siswa akan menunjukkan karyanya dalam pameran bersama dengan tema yang berbeda. Kurator pameran, Angga Wijaya mengatakan, hasil karya dalam pameran ini merupakan refleksi diri dalam proses pencarian identitas diri.

“Yang paling sulit selama proses pengumpulan karya ini, bagaimana cara agar siswa tetap konsisten dalam mengeksekusi isu ke dalam karya mereka. Apalagi untuk kelas 2 kan temanya ‘Indonesian Art Culture, Now and Then’. Para siswa ditantang untuk mengemas budaya lokal menjadi kekinian,” kata Angga Wijaya.

Percampuran budaya lokal dengan pop culture memang sangat mewarnai sebagian besar karya siswa kelas 2 yang dibangun dengan caranya masing-masing. Misalnya saja karya dari Rahmania Putri Nabila yang berhasil ‘mengawinkan’ Barong khas Bali dengan goresan animasi khas Jepang.

“Bagian mata, mulut dan janggutnya tidak boleh diubah, karena itu yang menjadi ciri khas Barong,” kata Putri yang sudah menerbitkan cerita kartun serialnya di Webtoon dengan judul ‘Guru Idaman’ ini.

Kemudian juga bisa dilihat dari karya Kusuma Khansa Tazkia Juniati yang berjudul Discovery HQ. HQ ini maksudnya ‘headquarter’ atau markas. Tazkia dengan detail menggabungkan pakaian bangsawan Jawa dengan jaman Victorian abad ke-18. Beskap di salah satu tokoh yang digambarnya memiliki dalaman rompi khas bangsawan Inggris dan bentuk topinya pun memanjang tapi tetap ada pola batik di atasnya.

Karya dua siswa, Nasywa Naditama Putri dan Gilang Pranjaya Putra juga sangat berani membawa subkultur lokal ke luar dari ‘kotaknya’. Nasywa membentuk beberapa jenis mie instan menjadi karakter-karakter kartun ciptaannya. Ia mengaku karyanya terinspirasi dari ‘Indomie’ yang sangat suka ia makan sehingga melahirkan karakter-karakter lucu di ceritanya.

Sedangkan Gilang, dengan berani membawa tiga karakter ‘hero’ lokal Indonesia yaitu Wiro Sableng, Si Buta dari Gua Hantu dan Gundala Putra Petir yang terlempar ‘mesin waktu’ dan tiba di masa kini. Gilang menceritakan kisah ketiganya dalam satu cerita dengan komedi satir dan mengemasnya dalam buku komiknya yang berjudul ‘Woi Nyasar Woi’.

photo
Salah satu siswa Erudio School of Art, Aulia Salsabila yang bercerita tentang 'Penghuni Laut Selatan' melalui media pasir.

 

Karya yang tidak kalah menarik juga dibuat Aulia Salsabila. Dengan keterbatasan penglihatannya, ia tetap mampu membuat karya dalam bentuk video yang merekam aksinya membuat cerita tentang Nyi Roro Kidul dengan judul ‘Penghuni Laut Selatan’. Yang membuat tidak biasa, Aulia menceritakan kisah Nyi Roro Kidul dengan menggunakan lukisan pasir yang dengan cepat berganti sesuai adegan cerita.

“Saya membagi beberapa kategori untuk karya siswa kelas 2, salah satunya tentang perjuangan dalam berkarya dan karya Aulia ini sangat luar biasa. Meski penglihatannya terbatas, tapi dia bisa membuat lukisan dari pasir dan sangat detail. Hebatnya dia hanya belajar dari Youtube dan dia keukeuh ingin membuat pameran seperti bioskop,” kata Kepala Sekolah ESOA, Diajeng Iyenk Angelia.

Berbeda dengan siswa-siswa kelas 2 yang menangkap isu seputar budaya lokal, para siswa kelas 1 memanfaatkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di Indonesia menjadi kekuatan karya-karyanya. Tema karya para siswa kelas 1 yaitu ‘Trust in Humanity’.

Chaya Dharma membuat karya dengan judul ‘Cermin’. Ia menggambarkan dua generasi yang berbeda yaitu Generasi Y dan Z dengan perbedaannya masing-masing. Namun ia menyuarakan optimisme di kedua generasi ini, terutama generasi seusianya yang kerap dilabeli dengan sebutan ‘Anak Zaman Now’.

Emir Maulana juga tidak ketinggalan menyuarakan fenomena berita-berita hoax yang kerap membuat ramai media sosial. Dengan judul karyanya ‘Kecenderungan’, Emir ingin menyadarkan remaja seusianya yang kerap menyebarkan berita-berita hoax tanpa memverifikasi kebenarannya.

Sedangkan Diandra Anandita dengan cerdas menangkap fenomena di kalangan remaja yang menurutnya sudah ‘kecanduan’ gadget dalam karyanya yang berjudul ‘They’re everywhere (Sometimes Do We Need It). Namun ia sendiri mengakui, ikut terbawa arus yang mengharuskannya tetap membawa gadget dalam genggamannya demi tak ketinggalan informasi yang berputar di jejaring dunia maya.

Masalah ketimpangan peran antar gender di Indonesia juga disuarakan para siswa yaitu Bhaskara Manusakerti Setiawan, Avicenna Mahadi, Dhafa Renouldi dan Maria Regina Indira Pratista. Bhaskara memprotes tidak bolehnya lelaki untuk menangis. Avicenna memprotes lelaki yang tidak diizinkan untuk menyukai warna pink. Serta Dhafa yang menurutnya pembagian peran antara lelaki dan perempuan di Indonesia masih belum setara.

photo
Karya salah satu siswa Erudio School of Art, Maria Regina Indira Pratista

 

Regina menyuarakan masalah ketimpangan gender ini dengan ‘agak keras’. Dia memprotes masyarakat Indonesia yang masih tabu mendengar istilah ‘feminisme’. Padahal menurutnya istilah tersebut tidak ‘semenakutkan’ yang orang-orang kira. Ia mengeksekusi konsepnya dalam karya dengan gaun merah yang dilekatkan di tubuh manekin dan ujung-ujungnya terdapat justifikasi orang-orang terhadap feminisme seperti ‘sexist’, ‘women above men’ dan ‘anti-marriage’.

“Proses berkarya siswa kali ini bisa diibaratkan sebuah perjalanan, namun mereka tidak untuk bertemu di satu titik saja. Mereka dapat berpapasan di persimpangan jalan, menyusun berbagai pandangan untuk kembali menemukan siapa diri kita dalam realitas kehidupan,” jelas Angga Wijaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement