Sabtu 15 Sep 2018 14:16 WIB

Kemendikbud Diminta Evaluasi Program Guru Gugus Depan

Implementasi Guru Gugus Depan terkadang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan

Ilustrasi guru mengajar di kelas.
Ilustrasi guru mengajar di kelas.

REPUBLIKA.CO.ID, TERNATE -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diminta mengevaluasi penempatan guru di daerah terdepan, terluar dan terpencil(3T) melalui program Guru Gugus Depan. Evaluasi terutama dari segi implementasinya di lapangan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Disdikjar) Maluku Utara (Malut) Imran Yakub mengatakan program Guru Gugus Depan itu sangat baik karena membantu mengatasi kekurangan tenaga guru di daerah 3T. "Akan tetapi, implementasinya terkadang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan," kata dia di Ternate, Sabtu (15/9).

Guru yang ditempatkan Kemendikbud melalui program Guru Gugus Depan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Malut, terkadang bukan pada sekolah yang sangat membutuhkan tambahan guru. Walaupun, ia menambahkan, sekolah itu berada di wilayah 3T.

Selain itu, semua guru yang ditempatkan di wilayah 3T melalui program itu direkrut Kemendikbud dari yang umumnya bukan dari Malut. Sehingga, mereka tidak betah mengemban kewajiban di sekolah tempat ditugaskan.

Karena itu, Kemendikbud sebaiknya menyerahkan kewenangan perekrutan dan penempatan Guru Gugus Depan ke pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sebab, pemerintah provinsi yang lebih mengetahui sekolah yang sangat membutuhkan tambahan guru.

"Guru yang direkrut untuk ditempatkan di daerah 3T juga sebaiknya diprioritaskan dari daerah itu, agar mereka betah melaksanakan tugas di sekolah walaupun dalam waktu lama,"katanya.

Kemendikbud juga diharapkan terus meningkatkan alokasi anggaran melalui APBN untuk pembangunan sektor pendidikan di daerah. Khususnya, dalam penyediaan infrastruktur, seperti gedung sekolah dan laboratorium.

Ia mengatakan, sekolah di berbagai daerah di indonesia, khususnya di wilayah Malut masih mengalami keterbatasan infrastruktur. Hal ini sangat menghambat dalam upaya mewujudkan delapan standar pendidikan di sekolah.

Infrastruktur laboratorium, misalnya, untuk mewujudkan delapan standar pendidikan di sekolah dibutuhkan sedikitnya enam laboratorium di setiap sekolah. Ini di antaranya laboratorium IPA dan bahasa, tetapi sekolah di Malut rata-rata hanya memiliki dua sampai tiga laboratorium.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement