Senin 02 Jul 2018 18:01 WIB

JPPI Kritisi PPDB tak Berikan Kuota Anak Berkebutuhan Khusus

Padahal anak berkebutuhan khusus akan sangat terbntu dengan radius yang dekat

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Sejumlah calon peserta didik bersama orang tuanya mengikuti proses verifikasi berkas administrasi akademik dan non akademik di SMA Negeri 1 Ungaran, Kabupaten Semarang, Senin (2/7). Hari ini mulai dilakukan verifikasi berkas bagi PPDB sistem Zonasi.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Sejumlah calon peserta didik bersama orang tuanya mengikuti proses verifikasi berkas administrasi akademik dan non akademik di SMA Negeri 1 Ungaran, Kabupaten Semarang, Senin (2/7). Hari ini mulai dilakukan verifikasi berkas bagi PPDB sistem Zonasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengkritisi Permendikbud No.14 Tahun 2018 tentang PPDB yang tidak memberikan kuota afirmasi bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau kelompok difabel. Padahal anak-anak berkebutuhan khusus akan sangat terbantu jika bersekolah yang radiusnya dekat dengan tempat tinggal.

"Kendala akses yang masih terjadi hingga hari ini adalah kesempatan sekolah bagi kelompok yang tereksklusi. Karena memang tidak ada kuota afirmasi untuk anak berkebutuhan khusus," jelas Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji kepada Republika, Senin (2/7).

Dia mengatakan, banyak orang tua dari ABK enggan bersekolah di sekolah selain SLB (Sekolah Luar Biasa), karena tidak ada komitmen dari pihak sekolah. Mereka juga menyesalkan, Permendikbud No.14 Tahun 2018 tentang PPDB tidak memberikan kuota afirmasi bagi kelompok difabel.

"Dalam konteks ini, aturan madrasah di bawah kemenag lebih ramah terhadap difabel.  Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 481 Tahun 2018 memberikan kuota minimal 10 persen bagi anak berkebutuhan khusus," jelas dia.

Di sisi lain, JPPI juga menerima banyaknya keluhan terkait sistem PPDB online, seperti masalah server-down dan NIK yang belum terdaftar dalam sistem. Dia menjelaskan, jika masalah akses yang sulit atau server down mungkin bisa dilakukan dengan menunggu waktu sela, tapi masalah NIK yang tertolak ini cukup membuat panik orang tua.

"Pasalnya mereka merasa tidak ada masalah dengan zonasi dan kuota, justru mereka terganjal dengan NIK yang tidak bisa diamasukkan dalam sistem. Ini hampir terjadi merata di seluruh daerah," jelas dia.

Sebelumnya Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Hamid Muhammad mengakui masih ada keluhan atas sistem zonasi. Tapi dia mengklaim bahwa sistem ini sudah sesuai dengan apa yang direncanakan.

Basis untuk zonasi mencapai 90 persen, prestasi ujian nasional 5 persen, serta pindahan atau dari luar daerah mencapai 5 persen. Dengan sistem ini maka bisa jadi mereka yang memiliki nilai ujian tinggi pun belum tentu bisa langsung memilih sekolah sesuai dengan yang diinginkan.

"Jadi tidak masuk (SMP/SMA) walau nilai UN-nya lebih tinggi, mungkin karena zona-nya jauh dari sekolah tujuan," ujar Hamid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement