Selasa 26 Dec 2017 18:09 WIB

Susun Rencana Pembangunan Industri, Babel Gandeng Pakar IPB

Rep: Idealisa Masyrafina / Red: Reiny Dwinanda
Tim ahli dari IPB bersama Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman, Selasa (26/12).
Foto: Dok. IPB
Tim ahli dari IPB bersama Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman, Selasa (26/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bangka Belitung (Babel), Erzaldi Rosman menggandeng sejumlah pakar dari IPB dalam penyusunan Rencana Pembangunan Industri Provinsi (RPIP) untuk tahun 2018-2038. Ia menjelaskan, langkah tersebut merupakan bentuk keseriusan pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam menentukan arah pembangunan industri sampai 20 tahun ke depan.

"Kami sangat serius dalam menyusunnya, karena itu kami menggandeng pakar-pakar dari IPB untuk mendampingi penyusunan RPIP ini," ujar Erzaldi melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (26/12).

Pertemuan dengan tim penyusun dilakukan di Kantor PT Timah beberapa waktu lalu (19/12). Erzaldi mengatakan, pihaknya berharap IPB tidak hanya ikut membantu dalam perencanaan, tapi juga terlibat dalam mewujudkan visi industrialisasi di provinsi Bangka Belitung.

Dalam penyusunan RPIP ini, pemerintah provinsi Bangka Belitung didampingi oleh empat orang akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (FEM IPB), yaitu Dr Mukhamad Najib, Dr Wita Juwita Ermawati, Dr Eko Ruddy Cahyadi, dan Dr Heti Mulyati. 

Menurut Najib, selaku Ketua Departemen Manajemen FEM IPB, kegiatan pendampingan ini merupakan wujud kepedulian dan komitmen IPB untuk membantu pembangunan di daerah. 

"Rektor IPB sangat berkomitmen untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah dan memberi dukungan penuh terhadap kerja sama yang dilakukan FEM IPB dengan pemprov Bangka Belitung ini," ujar Najib.

RPIP Kepulauan Bangka Belitung tahun 2018-2038 menjadikan industri pengolahan hasil perikanan sebagai prioritas pertama, Berikutnya, industri pengolahan lada dan kelapa sawit. 

Provinsi Bangka Belitung selama ini juga terkenal kaya akan tambang timahnya. "Timah sampai saat ini masih menjadi penyumbang PDRB terbesar di Bangka Belitung," ungkap Erzaldi. 

Menurut Erzaldi, kebijakan pemerintah daerah bukanlah sekadar mengatur soal timahnya, melainkan produk mineral ikutan yang menyertai penambangan timah. 

Mineral ikutan timah, seperti logam tanah, sangat potensial untuk dikelola. Erzaldi berharap hal tersebut bisa dimasukkan juga dalam dokumen RPIP yang sedang disusun.

Najib menjelaskan, pada prinsipnya proses industrialisasi masa depan selain harus memerhatikan aspek keberlangsungan lingkungan, juga harus bisa memastikan terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung dan bukan sekadar memperkaya para pemilik modal. RPIP yang tengah disusun mencoba mengakomodasi kedua poin penting tersebut.

Sementara itu, Dr Heti Mulyati, pakar manajemen industri FEM IPB, berpendapat bahwa hal tersebut sangat sesuai dengan kondisi geografis Bangka Belitung yang dikelililingi oleh lautan dan selat sebesar 80 persen (65.502 km2) dengan panjang pantai 1.295,83 km. 

Potensi tersebut harus dimanfaatkan untuk membangun industri pengolahan hasil perikanan yang bernilai tambah, baik yang berasal dari perikanan tangkap maupun budidaya. Produksi perikanan tangkap di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung rata-rata mengalami kenaikan 1,04 persen dari tahun 2012 2016. 

Berdasarkan hasil kajiannya, Heti menjelaskan, total produksi perikanan tangkap tahun 2012 2016 mencapai 933.206,50 ton, dengan kontribusi Kabupaten Belitung sebesar (26,50 persen) pada periode tersebut. 

Nilai produksi perikanan tangkap pada tahun 2016 sebesar kurang lebih 4,2 triliun rupiah, naik sebesar 15,73 persen dibandingkan tahun sebelumnya. 

"Rata-rata peningkatan nilai produksi perikanan tangkap selama tahun 2012 -2016 adalah 5,91 persen. Dengan data potensi ini maka sangat tepat jika provinsi Bangka Belitung membangun industri pengolahan hasil perikanan," jelas Heti.

Sementara itu, Dr Eko Ruddy Cahyadi, Kepala Divisi Produksi Operasi Departemen Manajemen IPB, menguraikan aspek potensial dari kepala sawit. Menurutnya, industri produk-produk turunan sawit masih potensial dikembangkan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 

Dari sekitar 17 perusahaan sawit yang beroperasi baru satu yang mengolahnya lebih lanjut menjadi minyak goreng.

"Perusahaan yang beroperasi di Belitung Timur tersebut memproduksi minyak goreng curah dengan kapasitas 10 ribu ton/bulan dan berorientasi ekspor ke pasar Asia Selatan dan Asia Timur. Industri sejenis ini masih bisa dihilirasi lagi menjadi minyak goreng kemasan maupun produk turunan lainnya." jelas Eko.

Lebih lanjut, Dr Wita Juwita Ermawati, mengatakan selain hasil perikanan dan sawit, industri pengolahan lada juga sangat potensial untuk dikembangkan di Bangka Belitung. 

Selama ini, Bangka terkenal sebagai produsen lada utama. "Agar lada bisa memberikan nilai tambah yang tinggi dan bisa lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, lada jangan hanya dijual sebagai komoditi, perlu ada industri pengolahan lada dan turunannya di Bangka Belitung," ujar Wita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement