Sabtu 31 Dec 2016 19:03 WIB
Tabligh Akbar Republika

'Pendidikan Harus Mengisi Jiwa-Jiwa yang Kering'

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Fernan Rahadi
Muhammad Nur Rizal (kedua kiri) dan istrinya, Novi Candra (kedua kanan) saat menjadi pembicara dalam bedah buku 'Sekolah Nir Kekerasan' dalam rangkaian acara Tabligh Akbar Republika 2016 di Aula Masjid Syuhada, Sabtu (31/12) sore.
Foto: Nico Kurnia Jati
Muhammad Nur Rizal (kedua kiri) dan istrinya, Novi Candra (kedua kanan) saat menjadi pembicara dalam bedah buku 'Sekolah Nir Kekerasan' dalam rangkaian acara Tabligh Akbar Republika 2016 di Aula Masjid Syuhada, Sabtu (31/12) sore.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Pendidikan selalu digadang-gadang sebagai media utama untuk menekan kasus kekerasan yang selama ini terjadi di Indonesia. Hal tersebut dibenarkan Psikolog UGM, Novi Poespita Candra. Namun untuk meminimalisir kekerasan diperlukan pendekatan pendidikan yang tepat sasaran.

Menurutnya kekerasan dapat terjadi pada siapa saja. Namun yang dapat dilihat adalah oleh siapa kasus kekerasan tersebut dilakukan. “Analoginya seperti hutan yang kebakaran. Biasanya hutan yang terbakar itu hutan yang kering. Sama juga pada anak, anak yang yang melakukan kekerasan biasanya anak yang jiwanya kering,” tutur penulis buku Sekolah Nir Kekerasan itu di Masjid Syuhada, Sabtu (31/12).

Maka dari itu sudah seharusnya pendidikan hadir sebagai pengisi jiwa-jiwa yang kering. Bukan malah menambah kegersangan pada jiwa tersebut. Novi menyampaikan, kekerasan merupakan masalah global yang terjadi di seluruh dunia. Bukan hanya di Indonesia.

Namun yang membedakan adalah cara penyelesaiannya. Selama ini Indonesia juga mengupayakan berbagai cara untuk menghilangkan kasus kekerasan, terutama yang terjadi di lingkungan sekolah. Namun pendekatan yang dilakukan lebih mengedepankan jalur hukum.

Sementara di Eropa dan negara maju, pendekatan yang digunakan lebih bersifat preventif. Misalnya di Jepang, kasus kekerasan kolektif atau Ijime (klitih) juga menjadi masalah kenakalan remaja. Namun penyelesaiannya tidak hanya sebatas pada penindakkan pelaku melalui proses hukum.

“Pemerintah Jepang mengantisipasi Ijime dengan membangun ruang produktif bersama. Misalnya dengan menyelenggarakan festival layang-layang atau festival pertunjukkan karya seni,” kata Novi.

Di Indonesia sendiri, kekerasan di sekolah tidak hanya dilakukan oleh siswa, tapi juga oleh guru. Di mana hal-hal yang mengarah pada kekerasan berupa bullying sering dianggap sebagai bahan guyonan. Sehingga, lambat laun masyarakat mengafirmasi hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar.

Oleh karena itu ada banyak hal yang harus diperbaiki pada sistem pendidikan di Indonesia. Baik yang bersifat konseptual maupun praktis di lapangan. “Maka itu kami sengaja membuat buku Sekolah Nir Kekerasan sebagai bahan bacaan yang diharapkan bisa menggerakkan para pegiat pendidikan untuk menerapkan hal-hal yang positif di sekolah,” tutur Novi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement