Selasa 09 Jul 2013 21:23 WIB

Esensi yang Terabaikan

Sertifikasi Guru (ilustrasi).
Foto: kampus-info.com
Sertifikasi Guru (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asep Sapa'at

(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

Sekolah itu penting, tapi belajar jauh lebih penting. Karena esensi hidup itu untuk belajar bukan bersekolah. Belajar itu menuntut ilmu. Menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sarana untuk mencari pekerjaan. Karena belajar, benar dan keliru pun jadi tahu. Ketika murid bersekolah, siapa bisa jamin murid sudah belajar?

Jika tak ada perubahan yang relatif permanen dalam dimensi tahu (dari tak tahu menjadi tahu), dimensi bisa (dari tak bisa menjadi bisa), dimensi mau (dari tak mau menjadi mau), dimensi biasa (dari tak biasa menjadi terbiasa), maka itu tanda seorang murid hanya bersekolah tapi tak belajar.

Mengajar itu penting, tapi mendidik jauh lebih penting. Mengajar itu memindahkan ilmu pengetahuan, dari guru ke murid. Mendidik itu ikhtiar memperbaiki perilaku dan berusaha menjadi teladan.

Banyak guru perankan diri sebagai pengajar, berapa banyak guru yang konsisten membenahi perilaku diri? Kita butuh pendidik yang terampil mengajar. Tak sekadar pengajar an sich. Karena bisa perankan diri sebagai pengajar dan pendidik, lakon seorang guru jadi paripurna.

Tugas guru perbaiki akhlak murid. Lantas, siapa perbaiki akhlak guru? Seminar dan pelatihan guru digelar di berbagai tempat, mampukah benahi cara berpikir guru yang keliru?

“Saya tak lagi bersemangat ikut pelatihan dan seminar guru, Pak Asep,” ujar seorang guru yang pernah saya jumpai di daerah Sumatra.

“Lho, mengapa bisa begitu?” tanya saya.

Tanpa malu ia menjawab, “Karena tak berpengaruh lagi bagi saya untuk lulus sertifikasi guru. Pemerintah setempat sudah mengeluarkan kebijakan hanya guru yang punya pengalaman mengajar di atas 20 tahun saja yang diprioritaskan untuk ikut sertifikasi guru. Awalnya saya bersemangat. Tapi karena saya tak punya peluang lulus sertifikasi, buat apa lagi saya ikut pelatihan dan seminar guru”.

Gubrak. Siapa yang sudah ajarkan guru punya cara berpikir sesat seperti ini?

Suatu ketika di event pelatihan guru, ada realitas tak terduga, oknum guru memalsukan tanda tangan kehadiran. Hadir pelatihan no, raih sertifikat yes. Fokus guru tersebut untuk mendapat sertifikat pelatihan, bukan untuk menuntut ilmu. Sertifikat jauh lebih penting daripada ilmu untuk membenahi kompetensi dan karakter diri. Cara berpikir guru tersebut pragmatis dan instan. Berapa banyak guru di Indonesia yang pragmatis dan miskin ideologi?

Pada 14 Maret 2013, Bank Dunia meluncurkan publikasi Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia. Apa hal menarik dari publikasi itu? Simak dengan cermat, para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi yang relatif sama.

Biaya sertifikasi pada tahun 2010 saja sudah menelan biaya Rp 110 triliun. Dari biaya Rp 110 triliun, perubahan seperti apa yang bisa diharap? Tak ada perubahan sama sekali. Tragis. Andai kabar ini sampai di telinga ibu pertiwi, beliau pasti sangat bersedih hati.

Program sertifikasi guru hadirkan euforia yang mengguncang sendi-sendi idealisme dan karakter guru. Atas nama profesionalisme semu, segala cara dihalalkan demi selembar sertifikat. Karena sistem penilaian tak berbasis kinerja, sertifikasi hanya jatuh ke tangan oknum guru yang tak amanah dan tak bertanggung jawab. Dana program sertifikasi sudah pasti habis anggarannya.

Esensinya, kapan perubahan kualitas pendidikan Indonesia jadi lebih baik karena adanya program sertifikasi guru? Memang, menjawab pertanyaan ini jauh lebih sulit daripada mencari jawaban atas pertanyaan “Kapan anggaran sertifikasi guru akan dihabiskan?”

Kurikulum 2013 dihadirkan untuk satu tujuan, pembenahan karakter bangsa. Yakinkah terwujud? Mohon maaf, meskipun namanya kurikulum berbasis karakter atau pendidikan karakter, jika didesain tanpa perilaku berkarakter, apakah bisa menghadirkan kebajikan bagi pendidikan anak negeri?

Mungkinkah kurikulum mulus diterapkan jika guru tak lebih dulu disiapkan jauh-jauh hari sebelum perubahan kurikulum diputuskan? Perubahan bukan hanya untuk perubahan, melainkan untuk tujuan lain yang lebih tinggi, mulia, & bermartabat. Perubahan adalah alat, bukan tujuan. Jangan sampai mengalami disorientasi dalam menggagas & mengelola perubahan. Esensi mesti diperhatikan, jangan sampai diabaikan.

Mengapa ada sekolah? Mengapa harus belajar? Mengapa mendidik jauh lebih penting daripada mengajar? Mengapa sertifikasi guru? Mengapa kurikulum harus berubah? Mengapa oh mengapa. Albert Einstein pernah bilang, “Never stop thinking”. Mengapa tak boleh berhenti berpikir? Karena hakikat berpikir merupakan proses menemukan esensi. Maka, jangan pernah malas berpikir.

Pak Jusuf Kalla pernah berseloroh, “Di negeri ini, semua hal dibicarakan. Kecuali hal penting”. Wualah, kok saya jadi khawatir ya. Mungkinkah produk kebijakan pendidikan di negeri ini hanya dianggap penting oleh sebagian pihak tapi tak bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia?

Mungkin ya mungkin juga tidak. Jika ya, hanya ada satu tafsir rasional, produk kebijakan hanya berstatus ‘penting dibicarakan saja tapi tak esensial’. Karena tak esensial, soal kualitas dan kebermanfaatan selalu jadi tanda tanya besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement