Senin 29 Apr 2013 06:36 WIB

Inspirasi Uje untuk Guru Indonesia

Ustaz Jefri Al Buchori
Foto: Antara
Ustaz Jefri Al Buchori

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Asep Sapa'at

 

Sungguh kesedihan yang teramat mendalam kehilangan sosok guru inspiratif, Ustaz Jefri Al Bukhori. Memang, inilah sosok bijaksana, dan kita baru menyadari arti penting hadirnya setelah beliau meninggalkan kita semua.

Banyak pesan dan hikmah dari perjalanan hidupnya. Inilah momentum terbaik bagi kita untuk mengambil setiap pelajaran hidup dari beliau dan tergerak untuk melakukan kebaikan dalam sisa usia hidup kita.

Ustaz itu guru, tapi bukan sebaliknya. Kata ustaz punya makna istimewa, bahkan terkesan hanya layak disandang orang-orang khusus saja. Ustadz atau guru, punya satu kesamaan, memberikan pengajaran dan keteladanan pada banyak orang. Ruang lingkup ustadz relatif luas, sementara guru dibatasi dalam ruang lingkup sekolah.

Bagi Almarhum Ustadz Uje, ustadz itu bukan profesi tapi pilihan hidup untuk memberikan kebaikan pada orang lain. Indikator kesuksesan bukan terletak pada seberapa populer dan seberapa banyak materi yang diraih pada saat berstatus ustadz, tapi seberapa banyak orang yang hidupnya berubah menjadi lebih baik.

Guru, profesikah? Secara de jure, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menegaskan arti guru sebagai sebuah profesi. Pertanyaan kritis bagi guru, apa motivasi utama menjadi guru? Jika hanya sekadar menjadi jalan untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarga, itu jawaban tak bervisi.

Karena banyak pekerjaan lain pun menawarkan hal serupa, bahkan lebih menjanjikan dan bisa menjamin kehidupan ekonomi yang lebih mapan. Mengapa tak pilih pekerjaan lain selain menjadi guru?

Almarhum Uje memberi pelajaran tentang arti pentingnya niat baik dan lurus. Kisah hidup yang kelam di masa lalu menjadi motivasi untuk memperbaiki dirinya sendiri, lalu berikhtiar agar orang lain tak mengalami nasib yang sama dengan dirinya.

Itulah titik balik kehidupan. Kesan humanisnya kental terasa. Ustaz juga tetaplah manusia. Sekelam apa pun masa lalu kita, selalu tersedia  waktu untuk segera bertobat dan memperbaiki diri. Lantas, apa yang diperbuat setelah bertobat, itu menjadi soal yang utama.

   

Berapa banyak guru di Indonesia sudah punya niat baik dan lurus? Jangan sepelekan soal niat. Jika niat guru sudah baik, semoga semuanya melahirkan kebaikan bagi murid. Tapi jika niat guru sudah keliru, sadarkah bahwa hal itu bisa merusak murid-murid? Jika guru punya niat keliru, sadarilah lalu perbaiki niatnya. Guru juga manusia, bisa berbuat salah dan khilaf. Jangan lalai untuk mengintrospeksi diri.

Kalimat teduh yang selalu meluncur dari mulut Almarhum Uje di sela-sela dakwahnya, "Saya ini tidak lebih baik dari saudara sekalian. Saya ini belum berbuat apa-apa. Saya masih harus banyak belajar. Mohon maaf jika ada kata dan perilaku saya yang salah".

Beliau ingin menyampaikan pesan bahwa ustad itu bukan sosok yang sempurna. Maka, ustaz harus terus belajar membenahi diri dan harus jantan meminta maaf jika memang telah berlaku salah. Sikap rendah hati begitu tampak nyata di depan mata. Berapa banyak guru yang merasa dirinya lebih hebat dari murid?

Berapa banyak guru yang berani ucapkan kata maaf jika berbuat salah pada murid? Berapa banyak guru yang bisa akui kehebatan murid dan belajar pada murid tersebut? Ingat, guru itu manusia. Maka, tunjukkanlah sikap layaknya seorang manusia yang tak sempurna. Belajarlah dari ketidaksempurnaan itu agar guru bisa berbuat lebih baik dari waktu ke waktu.

Yang paling memesona dari Almarhum Uje, beliau bisa diterima banyak kalangan. Wajar kalau publik mengenal beliau sebagai ustad gaul. Ini bukti bahwa beliau punya kemampuan komunikasi yang handal. Pelajaran yang bisa guru cermati dari beliau adalah sikap yang tak menggurui, sederhana dalam bertutur, semangat dalam menyajikan materi, memahami karakteristik audiens.

 

Saya menyimak secara cermat bagaimana beliau menyampaikan materi di hadapan bapak-ibu yang sudah relatif uzur, pejabat, selebritis, narapidana, remaja, serta beragam audience lainnya. Gaya penyajiannya selalu mampu membuat audience terlibat pikiran dan perasaannya. Sebagian audience bahkan berseloroh, "Apa yang beliau jelaskan kok persis sekali dengan apa yang saya pikirkan dan saya rasakan".

Kemampuan komunikasi, salah satu keterampilan yang wajib dikuasai guru. Pelajaran yang bisa dipetik dari almarhum Uje, pahami audience dan berkomunikasilah dengan hati. Sehebat apa pun penguasaan materi seorang guru, tanpa komunikasi yang baik, bisa jadi materi itu tak bisa dipahami murid. Buang jauh-jauh cara berpikir bahwa guru itu harus jaga image, jaga wibawa.

Wibawa itu justru akan terjaga jika guru bisa memahami persoalan murid dan membantu mereka mengatasi persoalannya. Bukan malah menjaga jarak dan mengambil resiko tak bisa memahami apa yang ada di pikiran dan perasaan murid. Akhirnya, materi penyajian guru jadi tak berbekas apa pun pada diri murid.

Kita semua dibuat terpesona dengan pribadi almarhum Uje. Ayah yang baik di mata anak-anak, suami yang baik di mata istri tercinta, anak yang shalih bagi orang tuanya, sahabat yang baik bagi teman-teman, dan banyak orang merasa kehilangan figur Uje. "Saya selalu menyampaikan nasihat kepada orang, lantas siapa yang bisa menasihati saya? Saya juga butuh nasihat agar hidup saya tetap lurus", ujar almarhum kepada salah satu sahabatnya di masa hidup beliau.

Guru bisa belajar pada almarhum Uje tentang arti pentingnya mendidik diri. Mustahil kita bisa mengubah kehidupan murid jika hidup kita tak pernah berubah. Banyak guru yang berpikir bahwa murid-murid harus berubah, padahal gurunya sendiri yang mesti berubah terlebih dahulu. Didiklah diri kita sendiri sebelum kita mendidik murid-murid.

Almarhum Uje sudah berhasil mendidik dirinya sendiri, keluar dari masa lalu yang kelam menuju masa kehidupan yang berarti bagi banyak orang. Kisah transformasi kehidupan yang luar biasa. Lantas, apakah guru-guru bisa konsisten mendidik dirinya sendiri agar layak digugu dan ditiru murid? Ini bicara soal kemauan, sesuatu yang sederhana untuk diucapkan tapi tak mudah untuk direalisasikan.

Akhirnya, jika kepergian ustaz Uje ditangisi banyak orang, maka berapa banyak murid-murid kita yang menangisi kematian kita nanti? Jika banyak orang hendak mengantar jenazah ustadz Uje ke pekuburan, berapa banyak murid yang berebutan ingin menandu jenazah dan menghadiri acara pemakaman kita?

Jika banyak orang terus mendoakan dan tetap mengabadikan kenangan hidup ustadz Uje di hati mereka pascawafat, berapa banyak murid yang terus terkenang dengan perilaku baik kita dan mendoakan kita bahagia dunia-akhirat? Wahai guru, renungkanlah.

Cipularang, 28 April 2013

Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Direktur Sekolah Guru Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement